Menimbang Ulang Diplomasi Indonesia dalam Konflik Israel Palestina dengan Menolak Two-State Solution
Oleh: Hanzala Alfarizi
Pada tanggal 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menegaskan bahwa “the only solution is this two-state solution”. Sikap ini meneguhkan konsistensi diplomasi Indonesia yang selama ini mendukung kerangka dua negara sebagai jalan keluar konflik Israel Palestina. Namun, apakah pilihan ini benar-benar sejalan dengan semangat konstitusi dan Prinsip Hukum Internasional. Maka mari menilik terlebih dahulu konsep Two State Solution bukan menjadi solusi pragmatis dalam menyelesaikan konflik Palestina dan Israel.
Konsep two-state solution secara sederhana ialah pembentukan dua negara merdeka yang berdampingan dalam konflik ini yaitu Israel dan Palestina. Gagasan ini pertama kali diformalkan lewat United Nation Partition Plan tahun 1947 dan dipertegas kembali melalui Perjanjian Oslo Accord 1993. Namun, hampir delapan dekade berlalu, kenyataan di lapangan menunjukkan kebuntuan total. Israel terus memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, status Yerusalem tetap diperebutkan, fragmentasi politik Palestina menghambat negosiasi, dan kekerasan berulang justru menegaskan bahwa kerangka ini tidak pernah menjadi kenyataan.
Seperti ditegaskan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2334 Tahun 2016, permukiman Israel secara jelas “merusak kelangsungan solusi dua negara”, tetapi resolusi ini pun tidak menghasilkan perubahan konkret karena lemahnya mekanisme penegakan.
Dari perspektif hukum internasional, masalah utama two-state solution terletak pada dilema legitimasi. Piagam PBB Pasal 2 ayat (4) melarang keras penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial dan kedaulatan negara lain. Dalam Advisory Opinion International Court Justice tahun 2004 mengenai tembok pemisah di wilayah Palestina yang diduduki.
Mahkamah Internasional menegaskan bahwa seluruh negara “berkewajiban untuk tidak mengakui situasi ilegal yang timbul dari pembangunan tembok tersebut” serta tidak memberikan bantuan untuk mempertahankannya. Artinya, hukum internasional mengikat negara untuk menolak normalisasi terhadap pendudukan yang melanggar hukum. Namun, two-state solution dalam praktik sering diperlakukan sebagai kompromi yang mengaburkan kewajiban Prinsip non-recognition, karena membiarkan pendudukan dan aneksasi de facto berlangsung tanpa konsekuensi nyata.
Konstitusi Indonesia memberikan pijakan yang sangat jelas. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pembukaan alinea keempat menyatakan bahwa negara “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Alinea ini memberikan mandat bahwa Indonesia tidak boleh mendukung bentuk penjajahan atau legitimasi terhadap penindasan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia harus dijalankan secara bebas, aktif, dan antisipatif, dengan berlandaskan pada prinsip kemerdekaan, perdamaian, serta keadilan. Mengikuti kerangka two-state solution yang stagnan jelas bertentangan dengan mandat ini, karena sama saja dengan memelihara status quo ketidakadilan.
Secara historis pun konflik Israel–Palestina menunjukkan bahwa berbagai inisiatif perdamaian, termasuk two-state solution, tidak pernah benar-benar menghentikan penjajahan dan kekerasan. Sejak Nakba 1948, lebih dari 750 ribu warga Palestina terusir dari tanahnya, rumah-rumah dihancurkan, dan kamp pengungsi terbentuk di berbagai negara Arab. Pada Perang Enam Hari 1967, Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, yang hingga kini tetap berada di bawah kontrol militer Israel. Data dari Office of the United Nation High Commisioner for Human Rights dalam Laporan nya berjudul “Six-Month update on the human rights situation in Gaza 1 November 2023 to 30 April 2024.”
Mencatat bahwa sejumlah 34.535 orang warga Palestina tewas di wilayah Gaza termasuk perempuan dan anak anak. Serta sekitar 77.704 terluka dan sekitar 10.000 dinyatakan hilang, dengan tingkat kehancuran infrastruktur sipil yang menurut Komisioner Tinggi HAM PBB “tidak proporsional dan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.”
Maka Kekerasan yang terus berulang ini membuktikan bahwa kerangka two-state solution tidak pernah memberikan jaminan keamanan maupun kedaulatan nyata bagi rakyat Palestina. Alih-alih, setiap kali negosiasi politik dilakukan, Israel justru memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat dan memperkuat blokade di Gaza. Fakta historis ini menegaskan bahwa two-state solution telah gagal menjadi solusi pragmatis dalam menyelesaikan konflik Israel Palestina.
Dengan kerangka hukum dan Historis demikian, Indonesia seharusnya tidak lagi membatasi diri pada slogan “dua negara”. Ada beberapa alternatif strategis yang dapat ditempuh. Pertama, Indonesia perlu mendorong pengakuan penuh terhadap negara Palestina di berbagai forum internasional tanpa prasyarat two-state solution. Kedua, mendorong mekanisme international trusteeship atau bentuk proteksi multilateral sementara yang dapat menjamin keamanan dan pemerintahan transisional Palestina hingga terbentuk kedaulatan penuh.
Ketiga, menggalang koalisi diplomasi di dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Gerakan Non-Blok, maupun ASEAN untuk memberikan tekanan kolektif terhadap kebijakan Israel yang melanggar hukum internasional. Keempat, memperkuat jalur hukum dengan mendukung langkah Palestina di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) maupun proses opini hukum baru di ICJ.
Menolak two-state solution bukan berarti menolak perdamaian. Sebaliknya, sikap ini merupakan upaya membebaskan diplomasi dari formula usang yang melegitimasi ketidakadilan. Indonesia, dengan amanat UUD 1945 dan komitmen politik luar negeri bebas-aktif, memiliki posisi moral dan hukum untuk mendorong kerangka baru yang lebih adil, sesuai prinsip self-determination dan non-recognition of unlawful situations. Hanya dengan demikian, diplomasi kita benar-benar “ikut melaksanakan ketertiban dunia” dalam arti yang sejati, bukan sekadar mengulang jargon yang kehilangan makna.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami