__temp__ __location__

Oleh: Isfa'zia Ulhaq (Mahasiswa Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah momentum historis yang mengubah arah sejarah bangsa. Ia bukan sekadar fatwa keagamaan, tetapi gerakan sosial yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan tidak mungkin dipertahankan tanpa keberanian moral dan spiritual. 

Fatwa KH. Hasyim Asy’ari yang menyatakan membela tanah air sebagai kewajiban fardhu ‘ain telah membangkitkan kesadaran baru di kalangan umat Islam, terutama santri dan rakyat jelata. Dari pesantren-pesantren di Jawa Timur, semangat jihad itu menjalar menjadi api perlawanan nasional, membentuk basis sosial yang kokoh bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Namun, delapan puluh (80) tahun setelah fatwa itu dikumandangkan, spirit jihad tersebut seolah tinggal dalam bingkai peringatan dan seremonial tahunan. Resolusi Jihad sering diperingati dengan upacara dan pidato, tetapi substansi gerakannya jarang benar-benar direkonstruksi dalam konteks zaman yang berubah. 

Padahal, jika ditinjau melalui lensa Resource Mobilization Theory, keberhasilan Resolusi Jihad dulu lahir dari kemampuan NU dalam mengelola empat sumber daya penting: simbolik, manusia, organisasi, serta moral dan emosi kolektif. Empat sumber daya inilah yang kini harus dipanggil kembali dan direkonstruksi agar spirit Resolusi Jihad tidak menjadi mitos beku, tetapi kembali menjadi energi perubahan.

Pertama, PBNU perlu merevitalisasi sumber daya simbolik. Fatwa jihad pada 1945 merupakan simbol moral yang mengubah perang kemerdekaan menjadi ibadah suci. Di dalamnya terkandung pesan bahwa perjuangan sosial adalah bagian dari iman. Kini, NU perlu melahirkan simbol-simbol baru yang kontekstual—simbol jihad melawan kemiskinan, melawan oligarki, melawan kebodohan, dan melawan perusakan lingkungan. 

Narasi keagamaan harus kembali memantik kesadaran sosial, bukan sekadar menghibur masyarakat dengan wacana spiritual yang steril. Dalam situasi bangsa yang dilanda krisis moral dan politik uang, NU harus tampil sebagai pembawa simbol moral yang meneguhkan arah bangsa. Jihad hari ini bukan lagi perang fisik, melainkan perjuangan melawan ketidakadilan struktural yang menindas rakyat kecil.

Kedua, PBNU mesti melakukan reorientasi sumber daya manusia. Dulu, para santri dan kiai menjadi ujung tombak jihad bersenjata. Mereka bergerak dengan ketulusan dan keyakinan bahwa kemerdekaan adalah bagian dari iman. Kini, generasi santri harus menjadi ujung tombak jihad intelektual dan digital.

Pendidikan pesantren perlu diarahkan untuk membentuk kader yang mampu membaca perubahan zaman: melek teknologi, berpikir kritis, dan berorientasi sosial. Pesantren tidak boleh berhenti menjadi lembaga tafaqquh fid din, tetapi juga menjadi pusat produksi pengetahuan dan ideologi pembebasan. Kader NU harus dilatih untuk melawan bentuk penjajahan baru—hegemoni media, ekonomi kapitalistik, dan birokrasi korup—dengan ilmu, integritas, dan kepemimpinan moral.

Ketiga, rekonstruksi sumber daya organisasi menjadi kebutuhan mendesak. Struktur NU yang luas dan kompleks adalah modal besar, tetapi tanpa arah gerakan yang jelas, ia bisa menjadi beban administratif semata. Pada masa Resolusi Jihad, jaringan pesantren dan konsul NU menjadi sistem distribusi yang efektif dalam mobilisasi umat. Kini, PBNU harus menata ulang organisasinya agar lebih dinamis, progresif, dan berpihak pada rakyat.

Lembaga dan banom NU harus dihidupkan kembali sebagai pusat gerakan sosial, bukan sekadar unit kegiatan seremonial. Jaringan pesantren dapat menjadi simpul ekonomi umat, pusat advokasi sosial, dan laboratorium pendidikan kebangsaan. PBNU harus berani membangun kembali ruh gerakan yang menekankan aksi nyata—bukan sekadar rapat dan musyawarah.

Keempat, yang paling penting adalah reaktivasi sumber daya moral dan emosi kolektif. Resolusi Jihad dulu berhasil karena membangkitkan perasaan cinta tanah air, semangat pengorbanan, dan solidaritas sosial. Spirit itu kini mulai pudar, tergantikan oleh apatisme dan kepentingan individual. 

PBNU perlu menghidupkan kembali emosi sosial umat, membangun kesadaran kolektif bahwa perjuangan belum selesai. Ketika rakyat kecil semakin terpinggirkan, ketika demokrasi direduksi menjadi transaksi, ketika agama dijadikan alat politik, di situlah jihad sosial menemukan relevansinya. NU harus menjadi ruang moral yang mempersatukan emosi kebangsaan dan iman, menghadirkan agama yang hidup dan membebaskan.

Dari keempat dimensi ini, jelas bahwa tugas PBNU hari ini bukan sekadar menjaga tradisi, melainkan menyalakan kembali bara gerakan. Me-recall the spirit berarti mengingat dengan kesadaran, bukan sekadar mengenang.

Reconstruct the movement berarti menghidupkan kembali cara bergerak NU—dengan jaringan sosial, dengan ilmu, dengan kepedulian, dan dengan keberanian moral. Karena jihad hari ini tidak lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat martabat kemanusiaan.

Spirit Resolusi Jihad harus kembali hadir di jalanan, di ruang publik, di lembaga pendidikan, dan dalam kebijakan sosial. Bukan dengan retorika peringatan, tetapi dengan kerja nyata yang menegaskan kembali cita-cita: membela bangsa adalah bagian dari iman. 

Jika PBNU mampu memanggil kembali semangat itu dan merekonstruksi gerakannya secara strategis, maka Resolusi Jihad tidak akan berhenti menjadi sejarah. Ia akan hidup sebagai peradaban-peradaban yang menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan yang sejati.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie