__temp__ __location__

HARIAN NEGERI - Jakarta, Sabtu (30/8/2025), Sebuah kendaraan taktis Brimob melintas di jalan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis sore (28/8). Berat, kokoh, dan gagah di mata aparat, tetapi menjadi mesin maut bagi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online.

Affan, Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Persis (IPP) mengungkapkan bahwa dirinya tak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir di bawah ban besi negara yang katanya bertugas melindungi rakyat. 

“Ia tewas di tengah kericuhan demonstrasi, bukan karena bersalah, melainkan karena hadir di jalur yang sama dengan negara yang kehilangan kendali atas kekerasan negara sendiri”, ungkap Ketum IPP, Sabtu (30/8/2025).

Tragedi Affan bukan kebetulan. Ia menambah daftar panjang praktik represif aparat: penembakan Gamma, pelajar SMKN 4 Semarang, pada November 2024, hingga penganiayaan pelajar di Kisaran. Selalu ada alasan resmi yang keluar dari corong institusi, selalu ada narasi pembenaran, namun publik tidak lagi mudah diyakinkan. Ada yang salah dengan cara kepolisian memahami rakyatnya.

“Polisi jangan berlindung di balik seragam dan senjata untuk menghapus jejak kesalahan. Nyawa Affan tidak boleh diperlakukan sebagai angka statistik atau sekadar korban salah tempat,” tegas Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Persis (PP IPP), Ferdiansyah.

Menurutnya, kejadian ini menunjukkan kegagalan serius Polri dalam menjalankan mandat konstitusi. Polisi yang seharusnya melindungi justru tampil sebagai ancaman.

“Kalau roda rantis lebih berharga daripada nyawa manusia, maka sesungguhnya yang terlindas bukan hanya Affan, melainkan demokrasi kita. Negara hukum berubah jadi negara takut, aparatnya bukan lagi pengayom, melainkan pembunuh berseragam,” sindirnya.

Maka dari itu PP IPP Berdasarkan peristiwa tersebut, PP IPP menyatakan sikap:

  1. Mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil. Tindakan ini melanggar konstitusi, prinsip hak asasi manusia, nilai kemanusiaan universal, dan ajaran Islam.
  2. Mendesak evaluasi menyeluruh terhadap Polri, bukan sekadar sanksi individual. Polri harus direformasi secara kultural dan struktural agar benar-benar menjadi institusi sipil yang melayani rakyat, bukan warisan otoritarian yang gemar menggunakan kekerasan.
  3. Menuntut investigasi independen dan transparan terhadap kasus Affan di Jakarta, penembakan Gamma di Semarang, dan penganiayaan pelajar di Kisaran. Proses hukum harus ditegakkan tanpa diskriminasi, termasuk terhadap aparat kepolisian yang bersalah.
  4. Mendorong negara untuk menjamin kebebasan berpendapat dan demonstrasi damai. Demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara, bukan alasan untuk menyalakan mesin perang di jalan raya.
  5. Menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk tidak diam. Kekerasan aparat tidak boleh dianggap normal. Demokrasi hanya bisa hidup bila rakyat berani menolak represi.

Ferdiansyah menutup dengan peringatan keras bahwa Negara harus bertanggungjawab dan tidak boleh menjadi membiarkan aparat menjadi institusi yang impunitas.

“Negara tidak boleh membiarkan polisi menjadi institusi impunitas. Jika hukum hanya tajam ke rakyat kecil tetapi tumpul ke aparat, maka yang mati bukan hanya Affan, melainkan juga masa depan demokrasi kita. Polri harus dievaluasi, direformasi, dan dikembalikan pada marwahnya: melindungi, bukan melindas,” tutupnya.

Agung Gumelar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie