Oleh: Salsa Azza Nabilla
Dewasa ini, demokrasi di Indonesia senantiasa menghadapi tantangan dari dinamika politik dan sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Salah satu tantangan paling nyata dapat dilihat melalui fenomena demonstrasi besar-besaran yang diarahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi rakyat, namun dalam perjalanannya meluas dan berubah menjadi tindak anarkis bahkan penjarahan.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan fundamental bagaimana sesungguhnya korelasi antara demokrasi sebagai sistem politik, cita hukum sebagai landasan normatif, dan praktik demonstrasi yang terjadi di lapangan.
Dalam konstitusi Indonesia, demokrasi ditegaskan secara eksplisit melalui Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Dalam konteks tersebut, demonstrasi yang dilakukan masyarakat untuk memprotes kebijakan DPR bukanlah sebuah pelanggaran hukum, melainkan perwujudan konkret dari hak konstitusional yang tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi. Aksi protes itu merupakan mekanisme check and balance horizontal antara rakyat dengan lembaga perwakilannya.
Namun, masalah muncul ketika demonstrasi yang semula sah secara hukum bergeser menjadi tindakan yang bersifat destruktif, seperti penyerangan fasilitas publik dan penjarahan. Pergeseran inilah yang menimbulkan dilema antara pemenuhan hak demokratis warga negara dengan penegakan cita hukum yang mengedepankan keteraturan, keadilan, dan perlindungan kepentingan bersama.
Konsep cita hukum Indonesia yang bersumber dari Pancasila menempatkan hukum bukan sekadar instrumen pengendalian sosial, tetapi juga sebagai sarana untuk mewujudkan nilai keadilan substantif. Dalam kerangka itu, hukum tidak boleh dimaknai semata-mata sebagai aturan tertulis yang kaku, melainkan juga harus mengandung aspek moral, etika, dan kepentingan kolektif. Dengan demikian, dalam menghadapi demonstrasi yang berubah menjadi penjarahan, negara hanya merespons dengan pendekatan represif, melainkan harus menegakkan hukum sesuai prinsip proporsionalitas.
Penindakan terhadap pelaku penjarahan memang merupakan kewajiban negara demi melindungi hak publik yang lebih luas, tetapi negara juga berkewajiban untuk memastikan bahwa hak-hak peserta demonstrasi yang damai tetap dilindungi. Keseimbangan antara penghormatan terhadap hak warga negara dan pemeliharaan ketertiban umum adalah bentuk konkret implementasi cita hukum dalam kerangka demokrasi.
Kasus demonstrasi memprotes DPR yang meluas hingga terjadi penjarahan mencerminkan adanya ketidakpuasan mendalam masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif. DPR sebagai representasi rakyat sering kali dinilai gagal menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan secara akuntabel.
Beberapa kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat menimbulkan gelombang resistensi yang kemudian diekspresikan melalui aksi turun ke jalan. Dalam perspektif demokrasi, hal ini menunjukkan adanya partisipasi politik aktif masyarakat sebagai kontrol terhadap lembaga perwakilan. Namun, transisi dari demonstrasi damai menjadi tindakan anarkis mengindikasikan adanya distorsi dalam praktik demokrasi.
Distorsi ini bisa muncul karena lemahnya kanal partisipasi formal, sehingga masyarakat merasa aspirasi mereka tidak didengar kecuali melalui tekanan massa. Dengan kata lain, lemahnya komunikasi politik antara DPR dan rakyat turut menjadi faktor yang mendorong eskalasi demonstrasi hingga meluas ke arah tindakan pelanggaran hukum.
Dari perspektif hukum, aksi demonstrasi memiliki payung legal yang jelas, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi warga negara untuk menyuarakan pendapatnya secara bebas, dengan tetap memperhatikan ketertiban umum dan kesusilaan.
Pasal 6 UU tersebut menegaskan bahwa dalam menyampaikan pendapat, setiap warga negara wajib menghormati hak-hak orang lain, menjaga keamanan dan ketertiban umum, serta keutuhan persatuan bangsa. Dengan demikian, ketika demonstrasi berubah menjadi penjarahan, maka tindakan tersebut sudah keluar dari koridor hukum yang berlaku.
Penjarahan bukan lagi bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi pelabelan negatif terhadap seluruh aksi demonstrasi hanya karena sebagian kecil berubah menjadi penjarahan adalah bentuk reduksi terhadap hak demokratis rakyat. Negara harus mampu membedakan antara massa aksi yang sah secara hukum dengan kelompok perusuh yang menunggangi momentum demonstrasi.
Di sinilah cita hukum menemukan relevansinya. Cita hukum menuntut negara untuk menegakkan hukum tidak hanya berdasarkan legalitas formal, tetapi juga keadilan substantif. Penegakan hukum terhadap penjarah harus berjalan seiring dengan perlindungan hukum terhadap demonstran damai.
Aparat keamanan tidak boleh menggunakan pendekatan kekerasan tanpa pandang bulu, sebab hal itu justru akan melanggar prinsip demokrasi dan menggerus legitimasi negara hukum. Tindakan represif yang membabi buta akan menimbulkan trauma kolektif dan memperlebar jarak antara negara dan rakyat.
Sebaliknya, penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan proporsional akan memperkuat kepercayaan masyarakat bahwa negara benar-benar menjunjung tinggi demokrasi dan cita hukum.
Selain itu, fenomena demonstrasi yang berujung pada penjarahan juga harus dilihat dari aspek sosial-ekonomi. Tidak jarang, kelompok yang melakukan penjarahan bukanlah bagian dari massa aksi yang terorganisir, melainkan pihak-pihak oportunis yang memanfaatkan situasi chaos untuk kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, cita hukum menuntut aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi yang cermat agar tidak terjadi generalisasi atau kriminalisasi terhadap demonstran. Penegakan hukum yang tidak selektif akan menimbulkan ketidakadilan baru dan justru berlawanan dengan prinsip demokrasi. Oleh karena itu, peran negara tidak hanya sebagai pengendali keamanan, tetapi juga sebagai fasilitator dialog yang membuka ruang partisipasi rakyat secara sehat dan konstruktif.
Ditinjau dari teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, inti dari demokrasi adalah komunikasi yang rasional dan partisipatif. Dalam kerangka ini, demonstrasi merupakan bagian dari ruang publik di mana rakyat menyampaikan aspirasi secara kolektif. Namun, ketika komunikasi antara rakyat dan DPR terputus, maka ruang deliberasi berubah menjadi ruang konfrontasi.
Akibatnya, demokrasi yang seharusnya dilandasi oleh pertukaran argumen dan pencarian konsensus justru bergeser ke arah dominasi kekuatan massa. Hal ini menunjukkan lemahnya fungsi institusi demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, memperkuat mekanisme komunikasi politik dan memperbaiki saluran partisipasi rakyat menjadi langkah penting untuk mencegah demonstrasi bertransformasi menjadi anarki di masa depan.
Kasus demonstrasi yang berujung pada penjarahan juga menekankan mengenai batas-batas kebebasan dalam demokrasi. Demokrasi memang menjamin kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan tersebut bukanlah kebebasan absolut. Kebebasan individu harus dibatasi sejauh tidak melanggar hak orang lain dan kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum klasik salus populi suprema lex esto yang menempatkan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi.
Oleh karena itu, ketika demonstrasi berubah menjadi penjarahan yang mengancam keamanan dan merugikan masyarakat luas, negara berhak melakukan pembatasan. Namun, pembatasan ini harus dilakukan sesuai dengan prinsip rule of law, bukan semata-mata berdasarkan kepentingan kekuasaan. Negara hukum yang demokratis menuntut pembatasan kebebasan dilakukan secara sah, proporsional, dan dapat diuji melalui mekanisme peradilan.
Tindakan demonstrasi memprotes DPR hingga meluas menjadi penjarahan adalah refleksi dari ketegangan laten antara idealisme demokrasi dan realitas politik hukum di Indonesia. Di satu sisi, demokrasi menjanjikan ruang partisipasi rakyat dan perlindungan hak asasi. Di sisi lain, praktik politik sering kali menutup ruang partisipasi itu, sehingga rakyat melampiaskan ketidakpuasan melalui demonstrasi.
Ketika demonstrasi tidak dikelola secara baik, maka ia berpotensi berubah menjadi kekerasan yang justru bertentangan dengan cita hukum. Hal inilah yang menjadi paradoks yang harus diatasi melalui reformasi politik, penguatan lembaga hukum, dan peningkatan kualitas demokrasi deliberatif di Indonesia.
Oleh karena itu, demokrasi dan cita hukum bukan sebagai konsep yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling terkait dan saling memperkuat. Demokrasi membutuhkan cita hukum agar tidak jatuh ke dalam anarki, sementara cita hukum membutuhkan demokrasi agar tidak menjadi instrumen kekuasaan yang otoriter.
Kasus demonstrasi memprotes DPR hingga meluas menjadi penjarahan adalah peringatan keras bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh dan membutuhkan penguatan serius. Negara harus memastikan bahwa setiap kebijakan DPR mencerminkan aspirasi rakyat, kanal partisipasi diperluas, aparat penegak hukum bekerja secara proporsional, dan hak-hak konstitusional warga tetap dijaga.
Dengan demikian, Indonesia dapat keluar dari paradoks antara demokrasi dan anarki, sekaligus mewujudkan cita hukum yang berlandaskan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami