__temp__ __location__

Mulai hari ini, Rabu, 1 Oktober 2025, Amerika Serikat melakukan penutupan pemerintah (government shutdown). Shutdown ini terjadi setelah Kongres di legislatif gagal meloloskan undang-undang pendanaan untuk tahun fiskal 2026. Meskipun Partai Republik menguasai mayoritas di kedua kamar legislatif, mereka membutuhkan sedikitnya tujuh suara tambahan dari Partai Demokrat di Senat untuk meloloskan rancangan anggaran.

Perdebatan berfokus pada kelanjutan subsidi pajak Affordable Care Act, yang menjadi tulang punggung asuransi kesehatan bagi puluhan juta warga Amerika. Demokrat menuntut agar subsidi tersebut diperpanjang secara permanen, sementara kubu Republik dan Presiden Trump menolak memasukkan isu itu dalam pembahasan anggaran, dengan alasan bahwa topik tersebut harus dibahas secara terpisah.

Akibat kebuntuan itu, sejak 1 Oktober, pemerintah federal memasuki shutdown yang memengaruhi lebih dari 1,6 juta pegawai, termasuk sekitar 900.000 orang yang dirumahkan tanpa gaji. Sejumlah lembaga penting seperti Internal Revenue Service (IRS), Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan Smithsonian Institution menghentikan sebagian besar kegiatan mereka. Program-program bantuan pangan seperti WIC dan SNAP beroperasi menggunakan sisa dana sementara, sementara taman nasional dan museum federal di seluruh negeri menutup pintunya bagi publik.

Presiden Trump menandatangani perintah eksekutif pada 15 Oktober untuk menjamin pembayaran bagi anggota militer aktif, tetapi kebijakan itu tidak mencakup pegawai sipil atau kontraktor pemerintah. Menurut estimasi Gedung Putih, setiap minggu shutdown ini berlangsung mengurangi produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat hingga 15 miliar dolar AS.

Shutdown 2025 menunjukkan betapa dalamnya polarisasi politik di Washington. Bagi sebagian analis, peristiwa ini menandakan bahwa penutupan pemerintahan telah berubah dari kegagalan administratif menjadi strategi politik yang terukur. Seperti yang terjadi pada dekade-dekade sebelumnya, para pegawai federal kembali menjadi korban langsung dari ketidakmampuan pemerintah mencapai kompromi, sementara masyarakat luas menghadapi dampak nyata berupa layanan publik yang terhenti dan ekonomi yang melambat.

Sejarah Government Shutdown

Penutupan pemerintah Amerika Serikat, atau government shutdown, merupakan fenomena politik khas sistem federal negara tersebut, di mana operasi pemerintahan terhenti sebagian atau sepenuhnya ketika Kongres gagal meloloskan undang-undang pendanaan untuk tahun fiskal baru. Dalam situasi seperti itu, lembaga-lembaga pemerintah tidak dapat membelanjakan uang, mempekerjakan staf, atau melanjutkan sebagian besar kegiatannya.

Sistem ini berasal dari interpretasi hukum pada awal 1980-an. Sebelum 1980, meski anggaran belum disetujui, banyak lembaga pemerintah tetap beroperasi dengan asumsi bahwa Kongres akan segera memberikan dana tambahan. Namun, pandangan itu berubah ketika Jaksa Agung Benjamin Civiletti pada masa Presiden Jimmy Carter mengeluarkan opini hukum yang menegaskan bahwa tanpa persetujuan anggaran resmi, lembaga federal tidak memiliki dasar hukum untuk menggunakan dana publik, kecuali dalam keadaan darurat yang menyangkut keselamatan jiwa atau perlindungan properti. Sejak saat itulah istilah shutdown memasuki kamus politik Amerika, dan setiap kebuntuan di Kongres berpotensi melumpuhkan roda pemerintahan.

Selama lebih dari empat dekade, Amerika Serikat telah beberapa kali menghadapi shutdown besar. Salah satu yang paling awal terjadi pada 1981 di masa Presiden Ronald Reagan, menyusul perdebatan mengenai pemotongan pajak dan pengeluaran publik. Namun, shutdown-shutdown awal ini relatif singkat dan dampaknya terbatas.

Ketegangan meningkat pada pertengahan 1990-an ketika Presiden Bill Clinton dan Ketua DPR dari Partai Republik, Newt Gingrich, terlibat konflik politik tajam mengenai pemangkasan belanja sosial dan upaya menyeimbangkan anggaran. Pertikaian tersebut berujung pada dua kali penutupan pemerintah dalam satu tahun, dengan yang kedua berlangsung selama 21 hari yang menjadi rekor terpanjang pada saat itu.

Dua dekade kemudian, pada 2013, pemerintahan Presiden Barack Obama menghadapi shutdown selama 16 hari akibat perdebatan sengit mengenai pendanaan Affordable Care Act (ACA), yang dikenal sebagai “Obamacare.” Sekitar 800.000 pegawai federal dirumahkan, dan dampaknya terhadap perekonomian nasional diperkirakan mencapai miliaran dolar.

Shutdown terpanjang dalam sejarah modern terjadi pada masa pemerintahan Donald Trump antara Desember 2018 dan Januari 2019. Konflik mengenai pendanaan pembangunan tembok perbatasan AS–Meksiko membuat sebagian besar kegiatan pemerintah terhenti selama 35 hari. Krisis tersebut menimbulkan keterlambatan pembayaran gaji bagi lebih dari 800.000 pegawai federal, gangguan pada transportasi udara, dan kerugian ekonomi yang meluas.

Seiring berjalannya waktu, government shutdowns telah menjadi simbol dari disfungsi politik Amerika modern. Mereka mencerminkan pergeseran budaya pemerintahan yang semakin partisan, di mana kompromi dianggap sebagai kelemahan dan kebuntuan menjadi alat tawar. Dari krisis anggaran di masa Reagan hingga kebuntuan era Trump, sejarah shutdown memperlihatkan pola berulang: setiap kali politik mendahului tata kelola, roda pemerintahan negara paling berpengaruh di dunia pun berhenti berputar.

Afian Dwi Prasetiyo

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie