Oleh: Rafi Nanda Yovinal
Hari Jum’at 18 Juli 2025, mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Thomas Trikasih Lembong dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara atas perannya dalam kasus korupsi impor gula mentah pada tahun 2015. Tom dinyatakan bersalah karena memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton yang menyebabkan kerugian negara sebesar 194 miliar rupiah.
Kasus ini berawal pada bulan Mei 2015, ketika Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Kala itu, dilaksanakan rapat koordinasi antar kementerian yang kemudian menyimpulkan bahwa Indonesia tengah menjalani surplus gula mentah sehingga tidak memerlukan impor.
Padahal, menurut salah seorang staf Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Yudi Wahyudi, yang menjadi saksi dalam kasus Tom menyatakan bahwa Indonesia harus selalu mengimpor gula karena ketersediaan stok tidak pernah mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ia mencontohkan stok gula pada akhir tahun 2015 yang kemudian dialihkan ke awal 2016. Ditemukan bahwa pada saat itu Indonesia justru defisit stok hingga nyaris 200 ribu ton gula, hal yang kemudian menurut Ari Yusuf Amir, kuasa hukum Tom Lembong, diabaikan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah dibantah oleh saksi.
Pada Jum’at pekan selanjutnya tanggal 25 Juli 2025, Sekretaris Jenderal Partai PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara atas kasus suap terkait perkara dugaan korupsi Harun Masiku.
Penahanan Hasto berawal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menahan Hasto pasca pemeriksaan, didasari Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: 152/DIK.00/01/12/2024 atas dugaan perintangan penyidikan terhadap kasus suap Harun Masiku.
Menurut KPK, Hasto menyiapkan uang senilai 400 juta rupiah untuk mengurus penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 atas nama Harun Masiku untuk menggantikan Nazarudin Kiemas anggota DPR RI terpilih tetapi kemudian meninggal dunia yang seharusnya digantikan oleh Riezky Aprilia sebagai pemeroleh suara terbanyak selanjutnya.
Setelah diduga gagal membujuk Riezky untuk memberikan kursinya kepada Harun dengan menjanjikan rekomendasi untuk menjadi Komisioner Komnas Ham atau Komisaris BUMN, Hasto menempuh jalur suap dengan mendekati Wahyu Setiawan mantan Komisioner KPU namun gagal karena KPK menjalankan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan. Operasi tersebut kemudian digagalkan oleh sekelompok polisi di bawah pimpinan AKBP Hendy Kurniawan.
Kritik tidak terbendung setelah dua putusan “Jum’at keramat” ini dibacakan. Banyak pihak menilai bahwa dua kasus ini saling berkaitan dan merupakan upaya kriminalisasi terhadap oposisi politik. Bagaimana tidak, pasalnya baik Tom maupun Hasto dikenal luas sebagai figur publik yang menjadi oposisi pada perhelatan Pemilu Nasional melawan calon Presiden terpilih saat ini, Prabowo Subianto, beserta koalisi partainya.
Selain itu, kedua kasus ini dianggap memiliki kejanggalan, bahkan muncul teori konspirasi yang menduga putusan ini ada untuk mencegah kedua tokoh ini “mengganggu” proses pemilu tahun 2029. Namun, apakah benar kejadian ini murni karena politik dan kriminalisasi oposisi?
Dalam hukum pidana, dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas ini menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa ada kesalahan.
Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, kesalahan dirumuskan bahwa terdakwa harus (1) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), (2) di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab, (3) mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan (4) tidak adanya alasan pemaaf. Poin ketiga tersebutlah yang kemudian menjadi perdebatan. Untuk membuktikan kesalahan (schuld), perlu dibuktikan mens rea dan actus reus-nya.
Mens rea adalah kondisi mental atau niat dari pelaku untuk melakukan perbuatan melawan hukum, sementara actus reus adalah tindakan pelaku yang melawan hukum. Mens rea digunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat kesalahan, dapat dilihat dari kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) dari sang pelaku.
Terdapat catatan menarik dalam kasus Tom Lembong, dimana Tom dinyatakan tidak memiliki mens rea.
Artinya, tidak ditemukan bukti bahwa Tom secara sengaja ataupun karena kealpaannya mengakibatkan tindak pidana korupsi, yang jika dikembalikan pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, Tom seharusnya tidak dipidana. Ironisnya, hal itu tidak menghentikan Hakim untuk menjatuhkan vonis penjara 4,5 tahun kepada Tom Lembong.
Dalilnya, Tom sudah terbukti merugikan negara dan memperkaya orang lain karena perbuatannya, sehingga ia tetap dapat dihukum atas tindakannya. Lebih lanjut, pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD, membenarkan bahwa seseorang tidak dapat dihukum tanpa adanya kesalahan, tanpa adanya mens rea. Menurutnya, ada empat kategori umum dari mens rea, yaitu sengaja (intention), sadar (knowledge), ceroboh (recklessness), dan lalai (negligence).
Tanpa terbuktinya satu dari empat kategori itu dalam suatu perkara pidana, maka apapun yang terjadi tidak dapat dihukum. Oleh karena itu, ia berpendapat putusan pengadilan Tom Lembong tersebut salah dan harus dikoreksi melalui mekanisme banding maupun kasasi.
Dalam kasus Hasto sendiri, terdapat kejanggalan yang lain. Selama pemeriksaan, Penuntut Umum menghadirkan penyidik dan mantan penyidik KPK, pertama kali dalam sejarah peradilan di Indonesia.
Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah dalam acara pidana adalah (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, dan (5) keterangan terdakwa. Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.
Penyidik dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai saksi fakta, padahal tidak mendengar, melihat, atau mengalami tindak pidana secara langsung sehingga yang disampaikan dalam pemeriksaan perkara Hasto hanya asumsi atau pendapatnya saja. Selanjutnya, Hasto terbukti menyiapkan uang suap sebesar 400 juta rupiah untuk melanggengkan Harun Masiku menjadi anggota DPR pergantian antar waktu (PAW). Namun, masih terdapat pertanyaan ihwal pemberian suap itu.
Untuk apa Hasto menyuap Wahyu Setiawan tanpa menerima keuntungan pribadi? Apa motifnya? Bukankah Harun Masiku yang paling berkepentingan untuk melakukan suap?
Segudang pertanyaan bermunculan dan menyelimuti kedua kasus ini. Spekulasi bertebaran di tengah publik. Untuk membuktikan kebenaran, keduanya perlu diuji kembali. Perlu ada Tom Lembong v.
Jaksa dan Hasto Kristiyanto v. KPK jilid dua. Semua itu untuk menegakkan keadilan, menyingkap kebenaran, dan membersihkan nama peradilan dari tuduhan kriminalisasi dengan motif politik. Memberantas korupsi dengan cara-cara yang korup dan kotor tidak akan memperbaiki skor dan peringkat Indonesia dalam Corruption Perceptions Index (CPI) oleh Transparency International.
Tidak akan mengubah fakta bahwa Indonesia sangat rentan perihal unfair trial conduct menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Saat ini, jutaan pasang mata di seluruh dunia tertuju pada pengadilan Indonesia. Indonesia harus membuktikan, bangsa yang hampir 80 tahun merdeka ini, punya prinsip dan karakter.
Keadilan bukan hanya sebuah kata kosong yang tertulis pada sila ke-5 Pancasila, namun ia hidup dalam praktik berbangsa dan bernegara sehari-hari bangsa ini. Pengadilan yang parsial dan bias hanya menunjukkan bahwa bangsa ini memang tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami