__temp__ __location__

Oleh: Nastasya Febriyana Rizan

Ketika jurnalis dibungkam, demokrasi kehilangan suaranya. Dalam satu dekade terakhir, kebebasan pers di Indonesia mengalami kemunduran yang mengkhawatirkan padahal pers seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan sosial dan pengawal sistem hukum yang berpihak pada rakyat. Sebagai negara demokratis yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, kebebasan pers bukan hanya hak untuk menyampaikan informasi, tetapi juga instrumen untuk memastikan kekuasaan tidak berjalan tanpa pengawasan.

Sejak reformasi 1998, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi fondasiyang membuka ruang kebebasan berekspresi setelah puluhan tahun dikekang oleh sistem yang represif. Namun, dua puluh tahun lebih berlalu, cita-cita reformasi itu belum sepenuhnya terwujud. Di atas kertas, Indonesia disebut menjunjung kebebasan pers di Asia Tenggara, tetapi fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa tahun 2023 menjadi tahun paling gelap bagi kebebasan pers, dengan 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media massa angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Menjelang tahun politik dan di tengah derasnya arus informasi digital, tekanan terhadap kebebasan pers semakin terasa. Pemberitaan mengenai isu korupsi, lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia kerap dibungkam dengan dalih menjaga stabilitas. Padahal, ketika pers dibungkam, publik kehilangan haknya untuk tahu dan negara kehilangan mekanisme kontrol sosial yang sehat.

Perkembangan teknologi digital seharusnya memperluas ruang ekspresi dan transparansi. Namun, dalam kenyataannya, platform digital justru melahirkan tantangan baru: disinformasi, ujaran kebencian, serta serangan siber terhadap jurnalis. Kasus teror terhadap jurnalis Tempo menjadi salah satu contoh nyata. Ia mendapat ancaman berupa pengiriman kepala babi. 

Ancaman semacam ini tidak hanya menyerang kebebasan pers, tetapi juga menunjukkan kekerasan berbasis gender yang berusaha membungkam suara perempuan di ruang publik.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya serangan terhadap individu, melainkan juga terhadap masyarakat. Ketika aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku intimidasi, publik kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan negara.

Data menunjukkan, pada tahun 2024 terdapat 19 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Kondisi ini memperlihatkan urgensi reformasi struktural agar aparat memahami bahwa jurnalis adalah mitra demokrasi, bukan ancaman negara.

Lebih dari sekadar menyampaikan berita, pers memiliki fungsi moral dalam menegakkan keadilan sosial. Media menjadi corong bagi kelompok masyarakat yang selama ini tak memiliki ruang di forum politik formal mereka yang tertindas, terpinggirkan, dan suaranya tak terdengar. Namun, idealisme ini sering kali tergerus oleh tekanan ekonomi dan politik. Ketika media bergantung pada kepentingan pemilik modal, independensi pemberitaan pun menjadi rapuh.

Oleh sebab itu, penguatan kebebasan pers harus dilakukan dari aspek struktur, substansi, hingga budaya hukum. Negara perlu meningkatkan komisi perlindungan jurnalis dengan kewenangan investigatif dan sanksi terhadap pelaku kekerasan.

Di sisi regulasi, UU Pers dan UU ITE perlu ditambahkan agar sesuai dengan permasalahan era digital serta melindungi jurnalis investigatif dari kriminalisasi. Dari sisi budaya hukum, literasi media dan etika jurnalistik harus digalakkan agar masyarakat dapat membedakan informasi kredibel dari hoaks, sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada media yang profesional.

Teknologi seharusnya menjadi sekutu, bukan ancaman, bagi kebebasan pers. Inovasi seperti Artificial Intelligence (AI) untuk fact-checking, data journalism berbasis big data, dan blockchain untuk menjaga integritas konten dapat memperkuat transparansi media. Selain itu, media perlu mengembangkan pendanaan mandiri melalui crowdfunding atau langganan publik untuk menjaga independensinya dari tekanan politik dan ekonomi.

Kebebasan pers sejatinya bukan hanya tentang melindungi jurnalis, tetapi tentang menjaga hak rakyat untuk mengetahui kebenaran. Karena ketika pers kehilangan kebebasannya, hukum kehilangan nuraninya, dan demokrasi kehilangan arah. Maka dari itu, memperkuat kebebasan pers berarti memperkuat keadilan sosial dan menjaga agar suara rakyat tetap hidup dalam demokrasi Indonesia.

Yusuf Wicaksono

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie