__temp__ __location__

HARIAN NEGERI, Yogyakarta – Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) menggelar Focused Group Discussion (FGD) bertajuk Improving Legal Awareness on Children Rights among Islamic Courts’ Judges in Indonesia: Reviews on Legal Norms and Practices in the Perspective of Financial Welfare di Hotel Saphir Yogyakarta, Selasa (24/6). Acara ini merupakan bagian dari proyek riset tahun kedua yang bekerja sama dengan Norwegian Center of Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, Norwegia.

"ISLaMS hadir untuk memberikan sumbangsih melalui berbagai program, salah satunya proyek penelitian. FGD ini menjadi bagian penting dari rangkaian riset tersebut," ujar Sekretaris ISLaMS, Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag. dalam sambutan pembukaannya.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada para narasumber dari kalangan hakim, advokat, dan mediator yang turut hadir, termasuk perwakilan dari 12 Pengadilan Agama di DIY dan Jawa Tengah.

Salah satu isu utama yang dibahas adalah pernikahan dengan selisih usia ekstrem. Direktur ISLaMS, Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., mengkritisi fenomena ini dengan tegas. "Perempuan usia 25 tahun menikah dengan pria 80 tahun, ini bukan sekadar perbedaan usia, tapi juga ketimpangan kekuasaan dan tanggung jawab. Perempuan muda dalam posisi seperti ini rentan secara sosial maupun ekonomi," ujarnya.

Diskusi terbagi ke dalam dua sesi utama yang dipimpin langsung oleh Direktur ISLaMS. Sesi pertama membahas isu perceraian dan pemenuhan hak anak, terutama terkait dengan besaran nafkah, mekanisme eksekusinya, dan pelibatan lembaga negara. Sesi kedua membahas norma dan praktik poligami, termasuk aspek hukum yang berkaitan dengan keberadaan anak serta kemampuan finansial suami.

Hakim PA Klaten, Ainun Najib, yang juga menjadi narasumber, mengangkat persoalan krusial terkait status anak dan nafkah dalam praktik peradilan. Ia menyoroti kasus kekerasan seksual terhadap anak oleh pelaku lansia yang kemudian menyebabkan kehamilan.

“Bayangkan, pelakunya kakek 80 tahun. Anak lahir dalam kondisi sehat, namun proses hukum dan sosialnya rumit. Tidak ada mekanisme eksekusi khusus untuk perkara anak, padahal ini genting,” ujar Ainun.

Ia juga menyinggung kendala dalam menetapkan nafkah anak pasca perceraian. “Kami menyarankan acuan seperti UMK dengan kenaikan 10-20 persen, tapi nyatanya UMK sangat fluktuatif. Kenaikan rata-rata hanya 6,11% dalam 10 tahun terakhir di Klaten,” jelasnya.

Lebih jauh, Ainun menekankan pentingnya mengakui penelantaran anak sebagai bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

“Selama ini masyarakat hanya mengenal KDRT sebagai kekerasan fisik dan psikis. Padahal, penelantaran ekonomi juga harus masuk dalam skema perlindungan hukum,” katanya.

Narasumber lain, Ketua Pengadilan Agama Sleman, Yuniati Faizah, menyoroti pentingnya penetapan besaran nafkah anak yang adil dan berkelanjutan dalam praktik peradilan.

“Besaran nafkah anak dalam praktik peradilan idealnya mempertimbangkan batas minimum yang disesuaikan dengan standar upah regional, dengan skema kenaikan tahunan yang proporsional serta mekanisme eksekusi yang terintegrasi melalui pengadilan dan lembaga pemerintah terkait demi menjamin keberlanjutan hak anak pasca perceraian,” tegasnya.

Nur Lailah, Hakim Pengadilan Agama Semarang,  menilai bahwa mekanisme eksekusi pemenuhan hak nafkah anak pasca perceraian masih sulit dilakukan karena tidak adanya instrumen khusus yang efektif untuk menjamin pelaksanaannya, meskipun sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Putusan soal nafkah anak memang ada, tapi eksekusinya sulit. Tidak ada instrumen khusus yang bisa menjamin itu terlaksana," ujar hakim yang sekaligus merangkap Ketua Pengadilan Agama tersebut.

FGD ini dihadiri oleh perwakilan dari Pengadilan Agama Yogyakarta, Magelang, Mungkid, Boyolali, Semarang, Wates, Klaten, Sleman, Bantul, Salatiga, Wonosari, serta advokat dan mediator. Diskusi lintas profesi ini diharapkan mampu memperkuat sistem perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, serta melahirkan rekomendasi kebijakan yang lebih adil dan solutif.

Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie