HARIAN NEGERI, Situbondo - Tragedi ambruknya asrama putri Pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani di Desa Blimbing, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, yang menewaskan satu santriwati dan melukai sebelas lainnya, memantik sorotan dari kalangan ahli hukum tata ruang.
Dosen Hukum Tata Ruang Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Muhammad Zaki Mubarrak, menilai peristiwa tersebut bukan semata musibah, melainkan indikasi lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan ruang dan kelaikan bangunan di tingkat daerah.
“Setiap bangunan, termasuk asrama pesantren, wajib mematuhi ketentuan hukum tata ruang dan bangunan gedung. Itu meliputi perizinan, peruntukan ruang, dan standar teknis konstruksi. Jika salah satu unsur tersebut diabaikan, maka secara hukum bisa dikategorikan sebagai pelanggaran tata ruang,” ujarnya saat diwawancarai, Jum'at (31/10).
Zaki menegaskan, ambruknya bangunan menunjukkan adanya dugaan kelalaian dalam memastikan keamanan struktur dan keselamatan penghuni. Dalam hukum bangunan gedung, kata dia, fungsi utama bangunan bukan hanya untuk digunakan, tetapi harus aman bagi penghuninya.
“Pertanyaan hukumnya sederhana: apakah asrama tersebut dibangun dengan izin lengkap, apakah pernah dilakukan audit struktur, dan apakah pemda setempat menjalankan pengawasan sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW)? Jika tidak, maka tanggung jawab hukum bisa muncul, baik secara pidana maupun perdata,” jelasnya.
Menurut Zaki, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab langsung dalam pengawasan pemanfaatan ruang dan izin bangunan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
“Bangunan pesantren memang bersifat sosial dan keagamaan, tetapi bukan berarti boleh mengabaikan aspek hukum dan teknis. Justru karena dihuni banyak santri, aspek keselamatannya harus menjadi prioritas utama,” imbuhnya.
Ia juga merekomendasikan agar pemerintah daerah segera melakukan audit menyeluruh terhadap bangunan pondok pesantren di wilayah Situbondo dan sekitarnya. Audit tersebut harus mencakup perizinan, zonasi, dan kelayakan struktur bangunan.
“Tragedi ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk memperkuat fungsi pengawasan, serta mendorong semua lembaga pendidikan berbasis pesantren agar memiliki izin mendirikan bangunan yang sah dan memenuhi standar keselamatan,” tegas Zaki.
Zaki menambahkan, negara juga berkewajiban memastikan adanya perlindungan hukum dan kompensasi bagi para korban serta keluarga mereka. “Aspek keadilan dan keselamatan publik harus berjalan beriringan dengan kepatuhan hukum tata ruang,” tutupnya.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami