HARIAN NEGERI, Depok - Kemajuan kecerdasan artifisial (AI) telah menciptakan perubahan besar di berbagai sektor, termasuk dalam cara manusia berkomunikasi dan memproduksi konten. Dengan hadirnya generative AI, proses pembuatan teks, gambar, hingga video kini dapat dilakukan dengan cepat dan efisien, bahkan tanpa banyak campur tangan manusia.
Namun, menurut Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, di balik kecanggihannya, AI tetap memiliki keterbatasan mendasar. Mesin tidak memiliki empati dan kemampuan berpikir kritis, dua hal yang menjadi ciri khas manusia.
“Yang membedakan manusia dengan mesin adalah empati dan kemampuan critical thinking,” ujar Nezar dalam acara Pekan Komunikasi UI 2025 di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (6/11/2025).
Nezar menjelaskan bahwa komunikasi manusia bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga melibatkan gestur, ekspresi, dan intuisi emosional, yang tidak bisa direplikasi sepenuhnya oleh sistem berbasis algoritma.
“AI bekerja dengan rumus-rumus matematika dan angka. Sementara manusia berkomunikasi dengan cara yang lebih kompleks, kadang-kadang hanya bisa dimengerti oleh sesama manusia,” jelasnya.
Selain keterbatasan dalam aspek emosional, AI juga memiliki potensi halusinasi data, yaitu menghasilkan informasi yang tampak meyakinkan tetapi sebenarnya tidak akurat.
Nezar mencontohkan kasus yang menimpa salah satu konsultan internasional besar, yang harus mengembalikan uang kepada pemerintah Australia karena laporan hasil survei dan risetnya ternyata bersumber dari data fiktif yang dihasilkan oleh AI.
“Perusahaan tersebut mengutip jurnal dan dokumen yang ternyata tidak pernah ada. Ini menunjukkan bahwa teknologi secanggih apa pun tetap perlu verifikasi manusia,” tegasnya.
Karena itu, Wamen Nezar mengajak praktisi komunikasi dan mahasiswa untuk terus mengasah kemampuan berpikir kritis, etika, dan empati, agar tidak kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap pesan atau informasi yang disampaikan.
“Teknologi bisa membantu, tapi keputusan tetap harus melibatkan manusia. Kita tidak boleh menyerahkan sepenuhnya proses berpikir dan berkomunikasi kepada mesin,” ujarnya.
Nezar menekankan bahwa kehadiran AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti manusia, terutama dalam ranah komunikasi yang menyangkut makna, emosi, dan nilai moral. Dengan keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan, AI dapat menjadi mitra untuk memperkuat kreativitas dan tanggung jawab sosial manusia.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami