Oleh Bachtiar S. Malawat (Forum Insan Cendikia)
Ternate - Selasa (6/5/2025), Siapa "aku"? Sebuah pertanyaan pendek yang telah membakar ribuan lembar kitab, mengguncang kepala para filsuf dan memaksa manusia untuk berhenti dari kesibukan rutinnya yang sia-sia. Namun, ironisnya, dalam dunia yang gemar bicara tentang “cita-cita”, “kesuksesan”, “mental health”, dan “pengembangan diri”, pertanyaan ini sering dianggap remeh terlalu filosofis, terlalu usang, terlalu tidak praktis. Padahal, justru dari sinilah seluruh peradaban manusia seharusnya dimulai, dari mengenali siapa dirinya.
Filsafat sejak awal sejarahnya dari Yunani ke Arab, dari Eropa ke Timur berputar di sekeliling pertanyaan mendasar ini. Plato, dalam “Phaedrus”, memandang bahwa manusia adalah jiwa yang terperangkap dalam tubuh, sementara Aristoteles menyatakan manusia sebagai zoon logon echon makhluk yang berpikir dan berbicara. Tapi keduanya hanya memulai. Di kemudian hari, muncul aliran eksistensialisme, yang meledakkan konsep esensi klasik: bahwa manusia tidak memiliki makna sampai ia menentukan dirinya sendiri melalui pilihan bebas. Di sini, “aku” menjadi arena pertempuran antara kebebasan dan absurditas.
Namun, filsafat Islam melangkah lebih jauh. Ia tidak sekadar bertanya “apa itu aku?”, tetapi “untuk apa aku?” dan “dari siapa aku?”. Ontologi Islam mengakar pada tauhid: manusia bukan entitas mandiri yang terlempar ke dunia secara acak, melainkan makhluk yang diciptakan dengan tujuan dan posisi eksistensial yang spesifik.
Al-Qur’an menyebut manusia sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30) dan sekaligus 'abid (QS. Adz-Dzariyat: 56) sebuah paradoks yang hanya dapat dijelaskan dalam kerangka bahwa manusia hidup di antara kehendak dan keterikatan, di antara tugas dan ujian.
Namun, di zaman ini, manusia modern justru kehilangan akarnya. Ia tidak tahu dari mana ia berasal, lalu ia membentuk kepribadian dengan cara konsumtif: dengan baju, status media sosial, dan pencitraan. "Aku" hari ini adalah produk pasar. Dirinya dibentuk dari luar, bukan dari dalam. Ia tidak mengenali jiwanya, tapi mengenal tren. Ia tidak tahu makna eksistensinya, tapi tahu algoritma. Maka ia kehilangan arah, meski tampak sibuk.
Antropologi filsafat menyatakan manusia sebagai makhluk yang tahu bahwa ia tahu. Tapi dalam konteks Islam, manusia bukan hanya makhluk rasional; ia juga spiritual. Ia diberi qalb, bukan sekadar akal. Qalb inilah pusat kesadaran eksistensial, tempat nilai dan makna diproses. Ketika qalb mati, manusia tetap hidup, tetap bicara, tetap berpikir, tapi tidak sadar. Inilah zombie eksistensial. Manusia yang kehilangan dirinya tapi tetap berjalan, tetap tersenyum, tetap produktif dan tetap kosong.
“Aku” dalam Islam bukanlah kebetulan biologis. Dalam QS. Al-Mu’minun: 12-14, Allah menjelaskan proses penciptaan manusia: dari tanah, menjadi air mani, menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging. Tapi tak berhenti di sana. Ayat itu ditutup dengan kalimat agung: “kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
"Apa bentuk lain itu? Ruh. Inilah dimensi ontologis manusia yang membedakannya dari binatang dan benda mati. Maka manusia bukan sekadar benda hidup. Ia adalah wujud metafisik dalam bungkus biologis.
Namun, peradaban hari ini justru mendekonstruksi “aku” menjadi sekadar tubuh. Tubuh dijual, dibentuk, dihias, ditayangkan, dievaluasi. Kesadaran dikerdilkan menjadi sekadar keinginan. Sementara hakikat keberadaan diri ditenggelamkan dalam kepuasan instan. Orang kehilangan makna tapi merasa keren. Orang depresi tapi terlihat bahagia di layar. Dunia menjadi panggung besar, dan manusia menjadi aktor tanpa naskah.
Filsuf seperti Descartes pernah menyimpulkan, “Aku berpikir maka aku ada.” Tapi apakah benar berpikir menjamin keberadaan sejati? Dalam Islam, yang menjamin keberadaan manusia adalah kesadarannya akan Tuhan dan dirinya.
Dalam QS. Al-Hasyr: 19, Allah memperingatkan “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri.” Di sini terkuak: lupa Tuhan berarti lupa diri, Maka sadar Tuhan adalah sadar eksistensi.
“Aku” Hanyalah bayangan.
Eksistensi manusia bukan ditentukan oleh keberadaannya di dunia, tetapi oleh relasinya dengan tujuan penciptaannya. Dalam pandangan eksistensialis Muslim seperti Muhammad Iqbal, manusia adalah makhluk potensial, dan eksistensinya harus dilampaui. Ia menyebut manusia sebagai entitas “yang sedang menjadi” bukan sesuatu yang selesai. “Aku” adalah proyek yang harus diperjuangkan, bukan label yang tinggal dipakai.
Di sinilah bedanya antara eksistensi dan esensi. Esensi manusia adalah ruh dan kehendaknya, potensi ilahiah yang ada dalam dirinya. Tapi eksistensinya harus dibuktikan. Seorang manusia yang tidak sadar siapa dirinya, tidak sadar kepada Tuhan, tidak berpikir tentang kematian, tidak melampaui nafsunya, maka ia secara esensial manusia, tapi secara eksistensial bisa lebih rendah dari binatang (QS. Al-A’raf: 179).
Begitu pula dalam filsafat wujud Mulla Sadra, tokoh besar Islam dari Persia. Ia menyatakan bahwa wujud manusia bukan sesuatu yang tetap, melainkan dinamis. Setiap amal, niat, dan pilihan membentuk hakikat wujud kita. Maka “aku” adalah sesuatu yang harus dibentuk, bukan hanya ditemukan. Manusia bisa naik menjadi malaikat, bisa jatuh menjadi iblis, tergantung pada kesadarannya.
Sayangnya, “aku” hari ini adalah makhluk terasing. Ia tidak mengenal dirinya, tapi terobsesi mengenal orang lain. Ia tidak mampu berdiam dalam keheningan untuk merenung, tapi sanggup bertahan lima jam menonton konten kosong. Ia tidak tahu makna hidup, tapi sibuk mencari likes dan validasi. Ini bukan sekadar krisis identitas. Ini adalah kehancuran ontologis massal.
Dalam sejarah, semua peradaban besar dimulai dari pertanyaan “aku siapa?”. Di Yunani, Socrates memulai revolusi dengan “kenalilah dirimu.” Di Madinah, Nabi Muhammad membangun masyarakat dari kesadaran ruhani: bahwa manusia adalah hamba, bukan tuan atas dirinya sendiri. Bahwa kebebasan sejati hanya mungkin jika manusia tunduk pada Yang Menciptakannya.
Maka pertanyaan “aku siapa?” bukanlah pertanyaan personal. Ia adalah pertanyaan peradaban. Jika satu generasi gagal menjawabnya, maka mereka akan tumbuh menjadi kumpulan tubuh tanpa jiwa. Mereka akan bekerja tanpa arah, belajar tanpa hikmah, dan hidup tanpa nilai. Inilah krisis yang paling berbahaya: ketika manusia berhenti bertanya siapa dirinya.
“Aku” bukanlah nama, bukan status, bukan profesi. “Aku” adalah ruang kosong yang menanti diisi oleh makna. Dan makna itu hanya muncul jika manusia berani menatap dirinya sendiri dalam cermin kesadaran spiritual dan intelektual. Tapi itu sulit, karena artinya ia harus mengakui bahwa sebagian besar hidupnya mungkin hanya ilusi. Bahwa gelar, kekayaan, popularitas, dan semua pencapaian bisa jadi hanya pelarian.
Apakah Kita Siap Jujur Pada Pertanyaan Ini?
“Aku” bukan sekadar konsep. Ia adalah misi. Dan manusia yang tidak menyadari misinya, akan tersesat di tengah jalan meski punya kompas. Maka “aku” bukan tujuan. Ia adalah awal dari perjalanan yang jauh dari tanah, ke hidup, ke mati, dan kembali kepada Tuhan. Di sanalah puncak eksistensi ketika “aku” kembali menjadi “hamba”.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *