Penantian umat Islam akan datangnya bulan Ramadan akhirnya tiba. Pada hari Jumat, 28 Februari, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan hasil sidang isbat yang menetapkan bahwa 1 Ramadan jatuh pada hari Sabtu, 1 Maret 2025. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memulai puasa di hari yang sama. Padahal, biasanya terdapat perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, dengan Muhammadiyah cenderung lebih awal memulai puasa. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa NU dan Muhammadiyah sering kali berbeda dalam menentukan awal Ramadan?
Perbedaan ini bukan sekadar tradisi, melainkan memiliki dasar metodologis yang kuat dalam ilmu falak atau astronomi Islam. NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Oleh karena itu, memahami perbedaan ini menjadi penting agar umat Islam dapat menyikapinya dengan bijak dan penuh toleransi. Dalam artikel ini, kita akan membahas metode yang digunakan oleh kedua organisasi, dampaknya terhadap kehidupan sosial, serta implikasinya bagi umat Islam di Indonesia. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, diharapkan perbedaan ini tidak menjadi sumber perpecahan, tetapi justru memperkaya wawasan keislaman umat.
Metode Penentuan Awal Ramadan
Dalam menentukan awal Ramadan, NU menggunakan metode rukyatul hilal, yaitu melihat langsung keberadaan bulan sabit dengan mata telanjang atau menggunakan teleskop. Jika hilal tidak terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Metode ini berlandaskan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa umat Islam harus mulai berpuasa jika melihat hilal, dan jika tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Pendekatan ini juga diadopsi oleh banyak negara Islam, seperti Arab Saudi, Pakistan, dan sebagian besar negara di Timur Tengah. NU menekankan pentingnya pengamatan langsung sebagai bagian dari ibadah dan cara memastikan bahwa penentuan awal Ramadan tidak hanya bergantung pada perhitungan matematis, tetapi juga pada fenomena astronomis yang dapat diamati secara langsung.
Sementara itu, Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal, yakni perhitungan astronomi untuk menentukan awal bulan Hijriah. Muhammadiyah menetapkan bahwa jika hilal sudah berada di atas ufuk setelah matahari terbenam, maka bulan baru telah dimulai. Metode ini tidak lagi bergantung pada pengamatan langsung, melainkan pada perhitungan ilmiah yang dianggap lebih akurat dan prediktif. Muhammadiyah berpendapat bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan, manusia tidak perlu lagi menunggu pengamatan langsung untuk menentukan awal bulan. Hisab memungkinkan kepastian jauh sebelum waktunya, sehingga umat Islam dapat merencanakan ibadah mereka dengan lebih baik. Metode ini juga diterapkan di beberapa negara, seperti Turki dan Mesir, yang telah beralih ke sistem perhitungan astronomi dalam menentukan awal bulan Hijriah.
Sejarah Perbedaan Penetapan Awal Ramadan
Perbedaan metode penentuan awal Ramadan ini bukanlah fenomena baru. Sejak era awal Islam, perbedaan dalam metode penentuan awal bulan telah menjadi bagian dari diskusi para ulama. Dalam sejarah Indonesia, perbedaan antara NU dan Muhammadiyah terkait penentuan awal Ramadan telah terjadi sejak awal abad ke-20. Muhammadiyah, sejak tahun 1969, telah meninggalkan metode rukyat dan sepenuhnya mengandalkan hisab dalam menetapkan awal Ramadan. Sementara itu, NU tetap mempertahankan rukyat sebagai metode utama mereka, meskipun juga menggunakan hisab sebagai alat bantu.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, berupaya menyatukan perbedaan ini melalui Sidang Isbat. Biasanya, pemerintah lebih cenderung mengikuti metode rukyat dalam penentuan awal Ramadan agar dapat menyelaraskan keputusan dengan mayoritas umat Islam di Indonesia. Namun, perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tetap terjadi karena masing-masing memiliki dasar hukum dan metodologi yang kuat dalam menentukan awal Ramadan.
Dampak Sosial Perbedaan Penetapan Awal Ramadan
Perbedaan metode penentuan awal Ramadan ini berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam aspek berikut:
Pertama, perbedaan jadwal puasa dapat menyebabkan umat Islam, khususnya warga NU dan Muhammadiyah, memulai Ramadan di hari yang berbeda meskipun tinggal dalam satu wilayah. Kedua, dalam lingkup keluarga, perbedaan ini dapat berdampak pada perayaan Idulfitri. Penelitian di Semarang menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, anggota keluarga yang mengikuti NU dan Muhammadiyah bisa berpuasa dan merayakan Idulfitri pada hari yang berbeda, sehingga mengurangi momen kebersamaan.
Ketiga, dari sisi kebijakan pemerintah, Kementerian Agama biasanya menggelar sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan secara nasional. Sidang ini umumnya mengacu pada metode rukyat yang digunakan NU, meskipun tetap mempertimbangkan hisab sebagai bahan pertimbangan. Keempat, perbedaan ini sering kali memicu perdebatan di kalangan umat Islam. Namun, pada sisi lain, perbedaan ini juga menjadi bukti bahwa Islam memberikan ruang bagi keberagaman ijtihad dalam memahami hukum syariat.
Kesimpulan
Perbedaan dalam penentuan awal Ramadan antara NU dan Muhammadiyah adalah hal yang wajar dan didasarkan pada metodologi ilmiah yang valid. Sejak 1969, Muhammadiyah secara resmi meninggalkan rukyat dan beralih ke hisab karena alasan kemudahan dan konsistensi ilmiah. Sementara itu, NU tetap mempertahankan rukyat karena dianggap lebih sesuai dengan prinsip syariat yang diwariskan dari generasi awal Islam.
Meski perbedaan ini masih terjadi hingga kini, yang lebih penting adalah bagaimana umat Islam menyikapinya. Islam mengajarkan toleransi dan persatuan, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan pendapat. Oleh karena itu, sikap saling menghormati dan memahami perlu dikedepankan agar perbedaan ini tidak menjadi sumber konflik, tetapi justru menjadi bukti kekayaan intelektual dalam Islam. Dengan pemahaman yang lebih dalam, umat Islam diharapkan dapat menyikapi perbedaan ini dengan bijak dan tetap menjaga ukhuwah Islamiyah.
Daftar Pustaka
Azhari, Susiknan, “Karakteristik Hubungan Muhammadiyah dan Nu dalam Menggunakan Hisab dan Rukyat”, dalam Jurnal al-Jamiah, Vol. 44, No. 2
Suhanah, “Dampak Sosial Perbedaan Pendapat dalam Penentuan Awal Ramadhan dan 1 Syawal terhadap Umat Islam di Kota Semarang”, dalam Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 11, No. 2
Ulum, Miftahul, “Fatwa Ulama Nu (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah Jawa Timur tentang Hisab-Rukyat”, dalam Jurnal Keislaman, Vol. 1, No. 2
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami