Penulis : mohammad shafar maulana hammed
Abstrak
Tradisi moci kebiasaan minum teh poci khas Tegal merupakan praktik budaya yang memadukan teknik penyeduhan teh dalam poci gerabah dengan nilai-nilai sosial yang mengutamakan kehangatan, kebersamaan, dan resiprositas. Berbasis temuan dari penelitian Setyadiani (2019), Bakhri (2018), dan Rahmawati (2021), artikel ini memaparkan perjalanan sejarah moci, fungsi sosialnya dalam membentuk identitas masyarakat Tegal, serta perannya dalam menopang ekonomi kreatif seperti industri gerabah, teh wangi, dan gula batu. Narasi ini juga menyoroti tantangan modernisasi yang menggeser minat generasi muda terhadap tradisi lokal, serta berbagai upaya pelestarian yang dilakukan melalui dokumentasi akademik, kampanye budaya, dan edukasi di lingkungan sekolah. Secara keseluruhan, moci dipahami bukan hanya sebagai praktik minum teh, tetapi sebagai simbol hubungan sosial dan representasi identitas budaya masyarakat Tegal yang perlu dijaga keberlanjutannya.
Pendahuluan
Pagi itu, aroma tanah basah dari sebuah poci gerabah menguar pelan di sudut dapur sebuah rumah di Tegal. Air panas dituangkan perlahan, mengenai daun teh wangi dan gula batu yang belum larut. Asap tipis menari di atas teko kecil berwarna merah kecokelatan itu. Seorang bapak duduk tenang di kursi kayu, menunggu karena dalam budaya moci , segala sesuatu memang diawali dengan kesabaran.
Tradisi moci, sebagaimana dicatat oleh (Setyadiani, 2024) dalam kajian antropologinya, tidak sekadar ritual minum teh, tetapi praktik sosial yang membentuk identitas orang Tegal. Ia tumbuh dari kebiasaan masyarakat pesisir utara Jawa yang menjadikan teh sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Di Tegal, kebiasaan itu berkembang menjadi sebuah budaya: teh harus diseduh dalam poci tanah liat, disajikan bersama gula batu, dan diminum perlahan sambil berbincang santai.
Ada filosofi yang mengalir dalam setiap tetes teh poci. Moci bukan untuk terburu-buru. Ketika teh dituangkan sedikit demi sedikit ke cangkir kecil yang oleh warga Tegal disebut ndopok di situlah percakapan, keakraban, dan relasi sosial terbangun. (Bakhri, 2018) menjelaskan bahwa moci berfungsi sebagai mekanisme resiprositas , yaitu hubungan timbal balik yang menguatkan solidaritas dan rasa saling memiliki di antara warga.
Jejak Sejarah yang Mengalir dalam Secangkir Teh
Tidak banyak yang tahu bahwa tradisi moci lahir dari dinamika ekonomi dan budaya pada masa berkembangnya industri teh di kawasan Tegal dan sekitarnya. Masuknya teh wangi dan gula batu di daerah pesisir membuat masyarakat menemukan pola minum tersendiri. Namun yang membuat moci berbeda adalah penggunaan poci gerabah. Bagi warga Tegal, tanah liat bukan hanya wadah; ia adalah “penjaga rasa”.
Penelitian (Setyadiani, 2024) menyebut bahwa poci dianggap mampu “memasakkan” teh dengan cara yang tidak bisa dilakukan teko logam. Gerabah memberikan kehangatan yang stabil, sekaligus menyerap aroma-aroma tertentu sehingga menghasilkan rasa teh yang lebih dalam. Karena itu, di berbagai rumah, warung, hingga acara keluarga, poci selalu hadir sebagai simbol keramahan.
Moci sebagai Ruang Sosial
Di suatu sore, ketika sinar matahari mulai melembut, biasanya warga akan duduk di teras, memanggil tetangga, dan berkata, “Moci sek, yok?” Kalimat sederhana itu menandai dimulainya sebuah ruang interaksi sosial. Tidak ada undangan resmi, tidak ada aturan rumit semua berlangsung natural.
Dalam penelitian tentang mantu poci , moci bahkan menjadi unsur sakral dalam sejumlah acara keluarga. Poci yang disuguhkan dalam ritual itu bukan sekadar minuman, tetapi simbol doa restu, harapan kebahagiaan, dan keharmonisan rumah tangga baru. Penempatan poci, penyajian teh, hingga penerimaan tamu memiliki makna simbolik yang diwariskan turun-temurun.
Sementara itu, jurnal (Utami et al., 2024)mencatat bahwa moci juga menjadi alat edukasi budaya bagi generasi muda, meski saat ini sebagian remaja Tegal belum sepenuhnya memahami filosofi yang terkandung di dalamnya.
Ekonomi Kreatif yang Tumbuh dari Sebuah Poci
Di balik tradisi yang tampak sederhana ini, terdapat roda ekonomi yang terus berputar. Para perajin gerabah di daerah Talang dan Adiwerna menggantungkan hidup pada produksi poci. Warung-warung kecil menjual teh wangi lokal, dan industri rumahan membuat gula batu yang menjadi pasangan ideal teh poci.
Penelitian kampanye budaya oleh(Widyastuti et al., 2020)) menunjukkan bahwa pelestarian moci dapat memberikan dampak positif pada ekonomi lokal karena permintaan poci dan bahan-bahan pelengkapnya terus meningkat ketika tradisi ini dipromosikan sebagai identitas budaya. Poci tidak hanya menjadi alat minum, tetapi juga cendera mata, ikon pariwisata, hingga produk kreatif.
Di Tengah Derasnya Arus Modernisasi
Meski moci tetap hidup, keberadaannya menghadapi berbagai tantangan. Minuman modern seperti kopi susu, boba, atau minuman instan menawarkan kepraktisan dan citra modern yang digemari anak muda. Perlahan-lahan, ritual moci yang memerlukan waktu yang mensyaratkan duduk tenang, berbincang, dan menunggu mulai kehilangan tempatnya.
Beberapa perajin gerabah menyebut bahwa permintaan poci menurun, dan generasi penerus enggan melanjutkan usaha keluarga, sebagaimana disebutkan dalam temuan(Utami et al., 2024). Pergeseran ini menjadi ancaman bagi keberlanjutan budaya dan ekonomi setempat.
Namun, banyak pula upaya pelestarian dilakukan. Dokumentasi akademik, festival moci, pengembangan video edukasi, hingga kampanye visual menjadi jembatan bagi generasi muda agar lebih mengenal budayanya sendiri. Beberapa sekolah bahkan mulai memasukkan moci sebagai bagian materi budaya lokal.
Narasi yang Perlu Terus Diceritakan
Moci adalah cerita tentang kehangatan tentang bagaimana sebuah teko kecil dari tanah liat mengikat hubungan sosial masyarakat Tegal. Ia tidak memaksa siapa pun untuk duduk, tetapi mengundang dengan lembut. Ia tidak mengajari dengan kata-kata, tetapi meneladankan melalui kesabaran dan kebersamaan.
Ketika seseorang menuangkan teh dari poci ke cangkir kecil, ia seakan berkata bahwa hidup tidak harus tergesa-gesa. Ada waktu untuk berhenti sejenak, mendengar cerita orang lain, dan merayakan kebersamaan. Itulah mengapa moci bukan sekadar budaya; ia adalah cara hidup.
Selama nilai-nilai itu terus dijaga di warung, di rumah, di sekolah, atau dalam acara keluarga maka moci akan tetap menjadi denyut hangat di tengah masyarakat Tegal.
Daftar Pusaka
Bakhri, S. (2018). Repositoritas dalam Sunat Poci dan Mantu Poci Masyarakat Tegal. Jurnal Analisa Sosiologi , 94–109.
Setyadiani, T. (2024). Makna Tradisi Teh Poci Pada Masyarakat Kota Tegal Provinsi Jawa Tengah .
Utami, D., Naam, M. F., & Sugiarto, E. (2024). Moci Tegal di Mata Siswa untuk Menjaga Warisan Leluhur. Jurnal Ilmu Sosial,Humaniora Dan Seni (JISHS) , 2 (3), 502–506.
Widyastuti, T. A., Naufalina, F. E., Supriadi, O. A., Kreatif, F. I., & Telkom, U. (2020). Perancangan Kampanye Tradisi Moci Khas Tegal Jurnal Tugas Akhir / Proyek Akhir . 7 (2), 1793–1798.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami