__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Ketika usia memasuki senja, kehidupan rumah tangga berada pada fase yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Energi mulai berkurang, anak-anak telah tumbuh dewasa, dan waktu berdua menjadi lebih banyak. Namun, fase ini justru sering menjadi titik rawan bila suami dan istri gagal membangun tafāhum atau saling pengertian. Tak sedikit pasangan lansia yang kerap terlibat dalam pertengkaran kecil yang terus berulang, dipicu oleh luka lama, perasaan tidak dipahami, atau kesalahpahaman yang tak pernah benar-benar diselesaikan.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata bahwa “rukun rumah tangga bukan hanya cinta, tapi juga pemahaman dan kelembutan.” Nasihat ini sangat relevan bagi pasangan lanjut usia, di mana ikatan emosional dan spiritual menjadi penyangga utama kebahagiaan. Dr. Gary Chapman, seorang pakar hubungan dari Amerika Serikat yang dikenal dengan konsep Five Love Languages, menyebut bahwa pasangan yang memahami bahasa kasih satu sama lain akan memiliki hubungan yang lebih kuat dan tahan lama. Ini menunjukkan bahwa saling pengertian bukan hanya sebuah nilai moral, tetapi juga kebutuhan praktis dalam membangun kebahagiaan bersama.

Fenomena yang umum terjadi di usia senja adalah munculnya kembali konflik lama yang sebelumnya terpendam. Sang istri, yang merasa terabaikan selama puluhan tahun, mulai lebih terbuka; sementara sang suami yang telah pensiun, merasa kehilangan kendali atau makna dalam rumah tangga. Ketegangan semacam ini sering muncul akibat perubahan peran dan dinamika psikologis yang tak diantisipasi. Jika tidak diatasi, konflik ini dapat merusak harmoni rumah tangga dan membawa dampak negatif bagi generasi berikutnya, termasuk cucu yang menjadi saksi dari ketegangan emosional pasangan yang seharusnya menjadi teladan.

Sebaliknya, bila pasangan lanjut usia berhasil membangun mutual understanding dan ta'āwun (saling membantu), rumah tangga dapat menjadi tempat yang damai dan menenteramkan. Kelembutan dalam merawat satu sama lain, kebersamaan dalam menjalani hari-hari yang tenang, dan keikhlasan dalam memaafkan masa lalu akan menciptakan suasana batin yang penuh syukur. Harmoni ini tidak hanya mempererat hubungan, tapi juga memberikan dampak positif bagi kesehatan mental dan fisik mereka, memperpanjang usia dan memperdalam rasa makna dalam hidup.

Teori Socioemotional Selectivity yang dikembangkan oleh Laura Carstensen menunjukkan bahwa pada usia lanjut, manusia lebih memprioritaskan hubungan yang bermakna dibandingkan pencapaian material. Mereka ingin dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan memahami mereka. Dalam konteks rumah tangga, hal ini berarti bahwa pasangan lansia lebih membutuhkan kehangatan emosional dan hubungan yang saling melengkapi, bukan dominasi atau tuntutan sepihak.

Di Inggris, salah satu negara maju yang memperhatikan kesejahteraan lansia, pasangan lanjut usia didukung dengan layanan konseling keluarga, komunitas pendamping lansia, serta kesadaran sosial akan pentingnya kebersamaan emosional di usia tua. Keterlibatan pasangan dalam aktivitas bersama, dari kegiatan seni hingga klub membaca, menjadi sarana untuk mempererat kedekatan batin. Sementara itu, di Arab Saudi, nilai-nilai Islam masih dijaga kuat dalam struktur keluarga. Tradisi menghormati pasangan dan pentingnya rahmah (kasih sayang) serta mawaddah (cinta) terus menjadi landasan relasi suami istri hingga usia lanjut.

Indonesia sebagai bangsa religius memiliki potensi besar dalam membangun keluarga harmonis di usia senja. Nilai-nilai Islam yang mengajarkan sakinah, mawaddah, warahmah dapat menjadi panduan dalam menghadapi masa tua bersama pasangan. Budaya mutual care yang tertanam dalam kehidupan sosial kita, bila dikelola dengan baik, bisa menjadi kekuatan kolektif dalam mendampingi pasangan lansia meraih kebahagiaan yang hakiki.

Saling pengertian dalam rumah tangga tidak hanya penting untuk menghindari konflik, tetapi juga sebagai jalan mencapai kedamaian batin. Ketika pasangan memilih untuk memahami daripada menuntut, untuk mendengar daripada menghakimi, mereka sedang menuliskan kisah cinta yang paling dalam. Di usia senja, kebahagiaan tidak lagi datang dari luar, tapi tumbuh dari ketulusan hati yang saling mengerti dan menerima. Dan di situlah cinta menjadi abadi, bukan karena muda dan kuat, tapi karena sabar dan saling setia.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *