Oleh: Safril Ismail (Ketua Umum HMI Komisariat Kedokteran Cabang Ternate)
Berangkat dari pendekatan hermeneutik “Friedrich Schleiermacher” saya punya satu hipotesis (Maluku Utara Krisis Kognitif 10-20 Tahun akan datang) Historical-Gramatical-psikological membawa saya pada satu tafsir terhadap hipotesis yang saya angkat. Perselingkuhan antara cinta segitiga yakni kapitalistik, akademikus, dan politikus adalah ancaman nyata bagi manusia yang kehilangan kesadaran.
Hutan di babat, hanya untuk mendirikan mesin-mesin Raksasa (perusahaan tambang) yang kaya akan polusi, dan berimbas pada pencemaran udara dan perairan (Laut dan Sungai). Tiga variabel terikat yang saya duga kuat menjadi faktor resiko paling jelas mengganggu kualitas oksigen (O2) di alam Maluku Utara yaitu (Hutan-Tambang-Laut).
Jika kita telusuri beberapa artikel kurang lebih mengatakan organ yang cukup rakus melahap oksigen adalah otot dan beberapa diantaranya sebut saja hati dan juga jantung. Namun ada satu organ vital yang tak kala penting selalu mengkonsumsi O2 adalah otak yang manusia fungsikan untuk mengurus segala aktivitas di bawah kolong langit di atas tanah ini.
Pertanyaannya, apakah di alam maluku utara kadar oksigen yang terhampar di udara kemudian di hirup oleh makhluk disekitarnya apakah O2 ini masih segar dan bukan menjadi satu masalah bagi otak melangsungkan aktivitas berpikir?
Saya ragu akan hal ini, mungkin ini yang menjadi salah satu indikator manusia abad ini cukup lemah dalam budaya berpikir. Mengapa saya katakan salah satu indikator sebab budaya tajam dalam berpikir memang sangat bergantung pada lingkungan yang produktif dan selalu terstimulus terhadap pengetahuan, ilmu, maupun segala informasi yang kiranya bisa mendistraksi diri untuk mengembangkan kualitas berpikir.
namun menurut hemat saya, fenomena alienasi yang jika teman-teman baca secara jelas gejala yang tergambar seakan-akan manusia hidup bagaikan robot yang digerakan oleh remot. siklus shift kerja karyawan tambang yang tanpa sadar telah menghilangkan keaslian diri mereka menjadi hal yang biasa di karenakan sedikit banyak yang berlindung di balik kata “kehidupan realistis” urusan perut dengan mengamankan ekonomi lewat alternatif kerja di tambang adalah pilihan utama.
Padahal secara pendekatan historical dulu jauh sebelum masuk perusahaan di maluku utara sepertinya aman-aman saja, bahkan keharmonisan masyarakat masih begitu hangat yang sekarang hanya menjadi cerita rindu akan masa lalu atau hanya menjadi kisah teman tidur pada anak sebelum terlelap. Namun kemudian menggunakan daya bahasa (Gramatical) melakukan re-interpretasi akan menjelasakan sesuatu yang irasional seakan-akan rasional atau sederhananya akal jatuh sepasca kejadian lagi-lagi kata realistis adalah senjata andalan.
Jujur pada diri kita masing-masing bahwa perlahan perselingkuhan cinta segitiga tadi menenggelamkan yang namanya "local wisdom". apakah politisi lokal tidak punya memori ini, apakah akademisi tidak punya kajian ini? Saya rasa punya, namun memilih diam karena mempertebal dompet dan tidur di ruangan AC lebih penting dari pada urusan kepentingan umat dan bangsa, lanjutkanlah bermanja-manjaan dengan mereka para kapitalis yang mengikkarkan diri menjadi turunannya Qabil dimana belajar dari petistiwa kerakusan dan terhasut kesesatan (pengaruh iblis) dengan kejam membunuh saudaranya sendiri dan peristiwa ini menjadi simbol konflik pertama di muka bumi akibat kekalahan sengketa karena Qabil yang menghadiahkan segemgam gandum. Jika kita menarik makna filosofis mungkin gandum yang ada ditangan Qabil adalah bentuk dari sesuatu yang dirampas dari tanah, dan ketika melihat kenyataan hari ini mereka para kapitalis tidak ada lelahnya merampok emas, timah, nikel, tembaga, bijih besi, bauksit, perak, inta yang kiranya hamper dari yang saya sebut adalah hasil tanah dan ini memiliki kesamaan dengan akar konflik bagaimna Qabil dengan persembahan gandumnya.
paragraf sebelumnya hanya sentilan kecil untuk menabrak keras pada kesadaran yang tertidur. bangun kawan udara kita hari ini tak lagi di isi dengan kadar oksigen yang segar, karena saya jamin jika masih segar tak banyak anak muda yang diam melihat generasi yang hilang arah memilih ke tambang adalah keputusan paling menjadi solusi.
Kenapa ini terjadi, sebab kadar O2 yang telah dirusak tak lagi dapat di pakai manusia untuk dapat berpikir jernih, mempertimbangkan keputusan dengan kematangan berpikir rasional (PFC) dan tidak terlampau lebay melihat hidup adalah tragedi dengan perisai kata-kata “hidup ini realistis” karena mendominankan tafsiran emosional (amigdala).
ini bukan teks mengkritik tutup tambang, tolak tambang, sebab dengan penuh kesadaran saya juga melihat banyak nyawa yang menggantungkan diri di dalamnya dan bukan angka ratusan namun puluhan ribuan nyawa.
Tanyakan di mana posisi negara melihat rakyatnya dengan kebahagian palsu ini? di mana posisi pemerintah melihat kegawatdaruratan krisis fungsi otak rakyatnya? di mana posisi akademisi yang menyembunyikan data kebenaran efek tambang yang sangat merugikan berbagai sektor kehidupan, baik aspek kesehatan, aspek sosial, aspek agama dan masih banyak lagi.
dimana posisi politisi yang bukan sibuk merancang rumus bagaimana mendistribusikan keadilan malah sibuk mengatur rumus bagaimana cara mempertahankan kekuasaan. apakah akademisi dan politisi kita juga sudah menghirup oksigen yang tercemar sehingga nalarnya juga sudah mirip nalar kelelawar yang keluarnya hanya di malam hari untuk mencari makan? Heyy, jangan perut saja yang di urus, kelak anda-anda sekalian juga akan punya anak, apakah anda tega membiarkan anak anda menghirup oksigen yang tidak sehat.
Apakah saya ngawur ringan menulis teks ini, coba anda baca, langsung saja melakukan pencarian di om google melalui handphone anda ini tanyakan hay om google dari mana sumber O2 terbesar dibumi, kurang lebih om anda akan memberikan jawaban lautan dan spesifiknya oleh makhluk kecil sebut saja akrab di sapa fitoplankton yang dari hasil melakukan fotosintesis dapat menyumbangkan 50%-80% oksigen di muka bumi. bukan hanya laut yang bisa memberi kita O2 melainkan hutan juga punya peran yang sama namun hasilnya tidak sebanyak laut.
Pertanyaanya jika hutan dan laut sudah di rusak kita mau mengharapkan kualitas oksigen segar dari mana lagi? bukan hanya itu lahan darat semakin disita sehingga tidak lagi dapat di olah rakyat untuk bercocok tanam yang kiranya meskipun tidak begitu dengan produk yang banyak namun kiranya masih bisa memberikan energi kehidupan alami.
Kemudian dengan kondisi sungai dan laut yang tercemar apakah masih menjamin mood para nelayan tidak merasa terzolimi karena ikan di laut tak lagi seperti sebelum-sebelumnya, pun jika ada apakah ikan laut yang kita makan, anda bisa menjamin tidak tercemar dengan limbah tambang?
O2 rusak, protein hewani yang didapat dari laut tercemar, apa yang bisa kita jamin masyarakat maluku utara masih sanggup merawat otaknya dengan baik dan sehat. bangun wahai akademisi, guanakan tangan kaki kalian turun melakukan kajian dan penilitian jika temukan kebenaran jangan gadai kebenaran itu hanya untuk kebahagian diri anda, bangun kalian para politisi jangan hanya mengemis suara rakyat dengan menipu mereka akan janji-janji raksasa yang kalian rekayasa.
Dikarenakan yang terancam bukan hanya (pfc dan amigdala) masyarakat namun anda yang mendiami maluku utara ini juga akan merasakan imbasnya, apakah anda rela melihat saudara, sahabat, kerabat yang anaknya menderita stunting yang diakibatkan dari limbah tambang yang di rasakan masyarakat lingkar tambang.
Jika ini bisa di ilmiahkan, tolong doakan agar tim penelitian yang saya rencanakan dapat terbentuk, agar hipotesis ini bukan hipotesis ngawur, sebab saya punya satu keyakinan bahwa jika anda memikirkan kondisi umat dan bangsa Tuhanmu yang maha baik dari segala yang terbaik memberikan anda mata melihat tidak seperti mata orang biasa melihat.
Memberikan telinga tidak seperti telinga yang orang biasa pakai mendengar, dan pfc dan amigdala anda selalu Tuhan bimbing untuk anda jaga dan dengan Nur-Nya mengizinkan adanya kecerahan karena yang sanggup melihat cahaya dalam gelap bukan pikiran dan rasa yang gelap melainkan PFC dan amigdala yang menyandarkan pada Sang Maha Terang cahaya di atas cahaya.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami