Oleh: Leonard Alfaro A.S
Di republik yang kata “loyalitas” sering lebih nyaring dari “legalitas”, panggilan dari lembaga antirasuah bukan hanya soal hukum tapi juga soal hubungan. Di saat kanda dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak hanya jabatannya yang diuji, tapi juga siapa yang masih memilih berdiri di sisinya.
Termasuk dinda. Dinda, dalam kisah politik kita, bukan sekadar pasangan romantik. Ia bisa bermakna siapa pun yang selama ini “bersama”: rekan seperjuangan, teman seperahu, kader setia, hingga simpatisan yang rajin posting tiap ucapan. Tapi begitu kanda tersandung perkara, dinda mulai bertanya: “Apakah ini perjuangan, atau permainan yang selama ini kuikuti tanpa ku sadari?”
Di atas panggung media, kanda bicara tegas. “Saya tidak bersalah,” katanya. “Saya hadir sebagai warga negara yang taat hukum,” lanjutnya. Tapi di ruang-ruang privat, dinda menimbang-nimbang: “Apakah setiaku kini justru akan menenggelamkanku bersama yang karam?” Maka dinda pun pelan-pelan bergeser. Bukan karena benci, tapi karena paham: loyalitas juga butuh keamanan, bukan sekadar kenangan dan kenyamanan.
Dalam dunia yang cepat mengganti narasi, dinda memilih untuk tidak ikut terseret dalam drama klarifikasi yang bisa menjadi tragedi. Ia berpindah ke pelukan yang lebih “bersih”, lebih “visioner”, dan tentu saja: lebih aman dari tangkapan kamera penyidik.
Di sinilah kita melihat dinamika politik kita dengan lebih jujur: bahwa banyak yang tampak setia, sejatinya sedang menunggu momen untuk berpindah. Bahwa banyak yang menyebut “saya di sini karena integritas”, padahal sesungguhnya, karena isi tas. Bahwa dalam realitas patronase, cinta dan citra sering berseberangan arah.
Lucunya, publik pun memaklumi. Karena kita semua tahu bahwa di balik setiap skandal, bukan hanya pelaku yang panik, tapi juga mereka yang dulu berdiri bersamanya, kini sibuk membersihkan jejak digital. Menghapus foto. Menulis ulang narasi. Mengganti “kami” menjadi “dia” dan “mereka”.
Dalam satu sisi, ini menyedihkan. Tapi di sisi lain, ini cermin: bahwa politik kita tak pernah benar-benar tentang kebenaran, tapi tentang posisi. Dan posisi, seperti juga relasi, bisa berubah seiring tekanan publik, opini media, dan... surat panggilan resmi dari KPK.
Maka, “Kanda dipanggil KPK, dinda mendua” bukan sekadar ironi. Ia adalah alegori dari sistem yang lebih besar. Di mana idealisme sering tumbang di hadapan kompromi. Di mana loyalitas diuji bukan saat menang, tapi saat terciduk. Di mana dinda, dengan segala pesonanya, sesungguhnya hanya perpanjangan dari insting bertahan.
Dan kanda, dengan segala gelarnya, harus belajar bahwa ketika panggilan datang, tak semua yang dulu tersenyum akan tetap menyambutmu pulang.
Kanda dipanggil KPK, Dinda mendua. Karena cinta dalam politik itu bukan tentang siapa yang benar, tapi siapa yang masih berdaya guna. Dalam dunia politik dan cinta, yang abadi bukan janji, tapi agenda.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami