__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Loyalitas dalam dunia politik kenegaraan bukan sekadar soal kesetiaan kepada seorang pemimpin. Di negara demokratis, loyalitas sejati tertuju pada konstitusi, hukum, dan cita-cita kebangsaan. Bukan pada figur, bukan pada partai. Ini menjadi fondasi penting bagi stabilitas dan efektivitas pemerintahan.

Saat Presiden terpilih Prabowo Subianto bersiap menata kabinet dan menjalankan roda pemerintahan, satu tantangan serius muncul: bagaimana membangun loyalitas tim yang utuh dan tidak ganda? Isu loyalitas ganda—di mana seorang pejabat terlihat tidak sepenuhnya berdiri di belakang pemerintahan—bisa menjadi batu sandungan yang berbahaya. Bukan hanya mengancam soliditas koalisi, tapi juga bisa memicu ketidakstabilan politik.

Max Weber, filsuf dan sosiolog Jerman, pernah mengingatkan pentingnya birokrasi yang rasional dan berbasis hukum. Loyalitas, menurut Weber, seharusnya tidak bergantung pada siapa pemimpinnya, tapi pada sistem dan aturan yang berlaku. Di sinilah pentingnya profesionalisme dalam birokrasi dan pemerintahan.

Tuntutan publik pun jelas: mereka menginginkan transparansi dan akuntabilitas. Tidak ingin para pejabat menjadi aktor politik yang kehilangan arah, publik mendambakan pemimpin dan menteri yang bekerja semata-mata untuk rakyat dan negara.

Presiden Prabowo ditantang untuk bertindak cepat dan strategis. Evaluasi kinerja menteri, penegasan garis komando, dan komunikasi terbuka dengan publik bisa menjadi kunci. Di satu sisi, membangun loyalitas bukan berarti membungkam kritik, tapi memastikan semua elemen tim berjalan seirama dalam satu visi besar: Indonesia yang lebih kuat.

Dalam pandangan filsuf Yunani, Aristoteles, loyalitas dalam tim dibangun atas dasar kebajikan dan orientasi pada kebaikan bersama. Dalam Nicomachean Ethics, ia menekankan bahwa kesetiaan yang ideal bukanlah yang membabi buta, tapi yang dibentuk oleh kebiasaan berbuat benar dan mengutamakan kemaslahatan umum. Ini sangat relevan dalam dunia pemerintahan: tim yang loyal adalah tim yang saling percaya, bekerja dengan integritas, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa.

Namun sejarah juga memberi kita peringatan keras. Kisah Brutus yang menikam Julius Caesar menjadi simbol betapa rapuhnya loyalitas jika dibangun tanpa kejelasan nilai. Brutus bukan sembarang pengkhianat; ia pernah sangat loyal, tetapi kemudian merasa pemimpinnya menyimpang dari idealisme republik. Dalam konteks pemerintahan modern, kisah ini mengingatkan bahwa loyalitas yang dibangun hanya berdasarkan relasi personal atau kepentingan jangka pendek berisiko runtuh saat badai politik datang.

Kini, harapan publik ada pada Prabowo. Dengan pengalaman panjang di bidang militer dan politik, ia memiliki modal kepemimpinan yang kuat. Tantangannya adalah memastikan loyalitas para pembantunya tidak semu, tidak rapuh, dan tidak dibajak oleh kepentingan lain. Ia harus membentuk kabinet yang teguh, solid, dan punya komitmen kuat terhadap visi dan misi negara.

Loyalitas bukan kata manis dalam pidato politik. Ia adalah ruh dari pemerintahan yang efektif. Jika Presiden Prabowo berhasil menegakkannya, maka masa depan Indonesia punya peluang besar untuk lebih stabil, lebih terarah, dan lebih maju.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *