Oleh: Radinal Muhdar (Sekretaris Umum HMI Badko Sulut-Go | Wakil Ketua I Forum Alumni BEM Sulut)
“Kemajuan bangsa tidak akan tercapai tanpa partisipasi aktif dan karya nyata dari generasi muda. Di tengah era globalisasi dan revolusi digital yang penuh tantangan, pemuda harus menjadi pelopor perubahan dan inovasi.”
Demikian seruan Gubernur Julius Stevanus Komaling dalam upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 di Manado, 28 Oktober 2025. Ucapan yang penuh semangat. Tetapi di tengah gegap gempita seremoni dan parade simbolik, muncul pertanyaan mendasar: apakah semangat itu sungguh dihidupi dalam kebijakan kongkrit dari pemerintah daerah saat ini, atau sekadar berhenti sebagai pidato semangat di podium upacara?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025, jumlah penduduk Sulawesi Utara diproyeksikan mencapai 2,72 juta jiwa, terdiri atas 1,39 juta laki-laki dan 1,33 juta perempuan. Lebih dari separuhnya berada pada usia produktif (15–64 tahun), dengan kelompok terbesar di rentang 25–29 tahun sebanyak 210.830 jiwa. Secara demografis, Sulut memiliki kekuatan tenaga muda yang dapat menjadi pendorong utama ekonomi daerah.
Namun, potensi itu belum diolah menjadi kekuatan riil. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 mencatat jumlah angkatan kerja Sulut mencapai 1,38 juta orang, naik 40,94 ribu dibanding tahun sebelumnya. Ironisnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) juga meningkat menjadi 6,03 persen, menempatkan Sulut sebagai provinsi dengan pengangguran tertinggi ke-7 di Indonesia.
Angka ini menggambarkan paradoks yang jelas: di satu sisi, pemerintah menggaungkan partisipasi pemuda sebagai pilar pembangunan; di sisi lain, ribuan generasi muda justru tidak terserap dalam lapangan kerja produktif. Padahal, Sulut tengah menikmati momentum bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang emas untuk mendorong transformasi ekonomi.
Pemerintah memang telah melaksanakan sejumlah program pelatihan digital dan kewirausahaan bagi pemuda. Namun, sebagian besar kegiatan tersebut masih bersifat seremonial dan berskala tunggal — sekadar pelatihan satu kali yang berakhir tanpa pembinaan lanjutan, pendampingan usaha, maupun sistem pengawasan yang berkelanjutan. Akibatnya, program yang seharusnya menjadi motor pemberdayaan justru berhenti sebagai laporan kegiatan tahunan belaka.
Lebih memprihatinkan lagi, Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kepemudaan yang sudah lama dibahas belum juga disahkan. Tanpa perda ini, arah kebijakan pemuda di Sulut akan terus bersifat fragmentaris dan bergantung pada selera politik sesaat. Bahkan, Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) yang seharusnya menjadi indikator utama kualitas generasi muda, nyaris tak disebut dalam dokumen perencanaan strategis daerah.
Falsafah Sitou Timou Tumou Tou — manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain — seharusnya menjadi jiwa dari setiap kebijakan publik di Sulut. Tetapi falsafah itu akan kehilangan makna jika pemerintah tidak menghadirkan kebijakan yang sungguh “memanusiakan” pemuda: memberi mereka ruang berpartisipasi, akses ekonomi, pendidikan yang relevan, dan kesempatan tumbuh dalam sistem yang berkeadilan.
Pemuda Sulawesi Utara tidak menuntut seremoni megah. Mereka menuntut kepercayaan, kontinuitas kebijakan, dan ruang aktualisasi yang nyata.
Sumpah Pemuda seharusnya tidak hanya dikenang setiap 28 Oktober, tetapi diwujudkan setiap hari dalam keberpihakan kebijakan publik. Karena tanpa itu, peringatan Sumpah Pemuda hanya akan terus menjadi ritual yang meriah di panggung upacara di lapangan-lapangan depan kantor pemerintah— namun sunyi dalam realisasi kebijakan kepemudaan.
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
Top Story
Ikuti kami