__temp__ __location__

Penulis: Prof. Didik J Rachbini, Ph.D.‎ (Rektor Universitas Paramadina)

Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia menilai bahwa pemilihan ‎langsung sangat mahal dan kembali mengusulkan agar khusus ‎pilkada dilaksanakan secara tidak langsung.   Namun tidak berarti ‎bahwa pemilihan tidak langsung lalu bebas dari masalah karena ‎hanya elit yang terlibat di dalam pemilihan tidak langsung ‎tersebut.

Bahkan setahun yang lalu, Presiden Prabowo Subianto sudah juga ‎menyampaikan usulan agar pemilihan kepala daerah tidak ‎diselenggarakan secara langsung namun kembali dilakukan oleh ‎DPRD untuk menekan biaya politik dan banyak komplikasi sosial ‎kemasyarakaan lainnya.  Namun pada saat itu pun banyak protes ‎dan penolakan dari berbagai kalangan jika pemilihan kepala daerah ‎dikembalikan ke DPRD seperti zaman pemerintahan Orde Baru di ‎bawah pimpinan Presiden Suharto, itu akan menghilangkan hak ‎pilih rakyat sekaligus memundurkan sistem demokrasi.  Sebelum ‎Ketua Umum Golkar, usulan ini sudah disampaikan oleh presiden ‎pidatonya pada puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, ‎‎12 Desember 2024 yang lalu.‎

Jadi usulan ini terus bergulir karena biaya ekonomi dan non-‎ekonominya sangat mahal dengan harapan pilkada berjalan lebih ‎efisien. Presiden Prabowo memberi alasan praktek pemilihan tidak ‎langsung juga telah dilaksanakan di berbagai negara, termasuk ‎negara tetangga. "Saya melihat negara tetangga lebih efisien seperti ‎Malaysia, Singapura, India, memilih anggota DPRD sekali, ya sudah ‎DPRD itu yang memilih Gubernur dan Bupati."  Menurut presiden: ‎‎“Sistem ini terlalu mahal. Dari wajah yang menang saya lihat lesu, ‎apalagi yang kalah.”‎
 

Saya melihat komplikasi yang lain dari  sistem pemilihan langsung ‎pada masa teknologi IT dan AI sekarang ini.  Selama 2 dekade ‎terakhir ini pemilihan langsung ditandai oleh keterlibatan Alien, AI, ‎bots, buzzer dan barang asing lainnya, yang  merusak sendi-sendi ‎demokrasi.   Karena itu, pemilihan langsung, meskipun bersifat ‎‎“one man one vote”, terbuka menjadi alat eksploitasi dan ‎manipulasi para elit di dalam demokrasi karena menguasai uang ‎dan teknologi tersebut. Suara rakyat, yang berasal dari suara hati ‎nurani dan keinginan manusia untuk memilih ‎pemimpinnya.  Namun dengan kehadiran AI, maka dialog di dalam ‎demokrasi disapu oleh suara mesin, provokasi buzzer, bots, AI dan ‎mesin-mesih alien, yang masuk ke dalam sistem, menjajah dan ‎menjarah demokrasi secara brutal.  Hasilnya adalah pemimpin ‎pencitraan, yang tidak menampakkan wajah aslinya, seperti terlihat ‎pada kepemimpinan  Jokowi, yang dihasilkan dalam pemilihan ‎langsung dengan penuh keterlibatan mesin-mesin manupulatif, ‎buzzer, bots, dan AI.  Ini semua merupakan barang asing dan alien-‎alien baru di dalam demokrasi.

Jika pemilihan langsung dikurangi pada sisi pilkada, maka kita bisa ‎mengurangi alien-alien dan mesin-mesin AI tersebut masuk ke ‎dalam demokrasi kita.  Tetapi jika kembali ke dalam sistem seperti ‎dipraktekkan oleh presiden Soeharto, maka pembajakan demokrasi ‎oleh elit terjadi kembali.  Ini sama dengan keluar dari mulut ‎harimau masuk ke mulut buaya, bahkan bisa lebih sadis lagi ‎kebrutalan pembajakan demokrasi menjadi otoriter, seperti ‎dulu.  Karena itu, mesin-mesin AI, buzzer dan alien-alien ‎tersebut  harus diatur oleh pemerintah.  Di sini kementrian ‎Komdigi masih gagap dan bingung dengan masalah interelasi ‎demokrasi sejati dan kebebasan bicara dari anggota masyarakat ‎dengan masuknya narasi berasal dari AI, yang cenderung ‎manipulatif. 

Demokrasi adalah kebebasan berbicara dari keinginan dasar “free ‎will” manusia untuk menemukan pemimpinnya, tetapi hadirnya ‎alien, buzzer dan AI di dalam pilpres dan pilkada merupakan cacat ‎substansi dari demokrasi tersebut. Sekarang nampaknya mulai ‎terlihat robohnya demokrasi karena kehadiran alien tersebut. ‎Tidak ada lagi wacana indah seperti dicontohkan elit pendiri ‎bangsa.  Yang hadir di dalam demokrasi liberal adalah dominasi ‎alien ini. Karena itu, parlemen harus mencari cara untuk mengatur ‎dengan baik masalah ini agar demokrasi masa depan terhindaar ‎dari kehancuran. ‎

Manusia di dalam demokrasi mempunyai hak berbicara, seperti ada ‎di dalam undang-undang dasar 1945. Tetapi AI, provokasi mesin, ‎alien dan buzzer tidak memiliki hak bicara karena praktek yang ‎dijalankan bukan dialog dan sharing ide kehendak, tetapi “blasting” ‎manipulasi  atas rakyat dari pihak yang menguasai uang dan mesin ‎alien tersebut.   Demokrasi dan kebebasan berbicara dan ‎berorganisasi berakar dari asas moralitas kemanusian, tetapi ‎mesin-mesin-mesin tersebut adalah elemen  manipulatif AI  yang ‎terlibat  di dalam demokrasi tersebut dan tidak mempunyai fondasi ‎moralitas.  Dengan praktek politik yang liberal dan penguasaan AI ‎yang manipulatif dan tuna moralitas juga berpengaruh besar ‎terhadap karakter politisi, yang juga manipulatif, seperti ‎dicontohkan pemimpin pada satu dekade terakhir ini.‎

Kita tidak sadar bahwa demokrasi sudah rusak.  Karena itu, ‎presiden Prabowo merasa lelah dengan demokrasi liberal seperti ‎sekarang ini dimana rakyat masih jauh dari literasi informasi, ‎pendidikan dan pengetahuan.  Bias tujuan demokrasi yang luhur ‎terpental jauh ke jurang karena ada barang asing yang menguasai ‎kebebasan berbicara dan manipulasi informasi dikuasai AI dan ‎alien.  Keadaan ini tidak ada 3-4 dekade yang lalu, tetapi perubahan ‎drastis terjadi dengan cepat sehingga sulit untuk meneruskan dan ‎tidak pantas kembali lagi ke dalam demokrasi pemilihan tidak ‎langsung, yang dengan udah menjadi demokrasi elit oligarkhi ‎tertutup.‎

Karena itu, pemimpin politik harus mencari inovasi politik, yang ‎terbaik untuk demokrasi dan rakyat serta menjamin kelangsungan ‎kehidupan bernegara yang stabil dan makmur.  Untuk sementara ‎dalam wacana ini, sebagai akademisi dalam ranah ekonomi politik, ‎saya mengajukan inovasi mixed method atau campuran. Pertama, ‎pilkada tidak dilakukan secara langsung tetapi dipilih oleh DPRD. ‎Kedua,  calon gubernur dan calon bupati/walikota bukan ‎ditetapkan elit partai tetapi berasal dari unsur pilihan masyarakat, ‎yakni 3 anggota DPRD terpilih dengan suara terbanyak dari ‎propinsi atau kabupaten/kota tersebut.  Ini merupakan jalan tengah ‎antara demokrasi liberal yang rusak sekarang dengan menghindari ‎sistem pemilihan DPRD seperti Orde Baru.
 

 

Afian Dwi Prasetiyo

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie