Oleh: Syaefunnur Maszah
Hubungan anak dengan orang tua bukan semata urusan biologis, melainkan jalinan emosional dan spiritual yang membentuk masa depan manusia dan masyarakat. Dalam dunia yang makin cepat bergerak ini, cinta anak terhadap ayah bundanya sering tergerus oleh kesibukan, tekanan hidup, dan pola komunikasi yang renggang. Padahal, rasa cinta itu adalah fondasi keharmonisan keluarga, yang menjadi benteng utama dari keretakan sosial yang lebih luas.
Psikolog keluarga asal Amerika Serikat, Dr. Laura Markham, menekankan bahwa cinta dan penghargaan anak terhadap orang tua akan tumbuh subur jika dibangun sejak dini melalui kehadiran emosional, bukan sekadar pemberian materi. Sementara itu, ulama kontemporer Mesir, Syekh Ali Jum’ah, menegaskan bahwa birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah bukan hanya kewajiban, tetapi juga jalan utama meraih keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Perspektif spiritual ini menjembatani nilai agama dan realitas psikologis modern.
Namun demikian, fenomena konflik antara anak dan orang tua semakin marak, baik dalam bentuk pertengkaran, ketidakpedulian, hingga pemutusan hubungan. Dalam banyak kasus, penyebabnya bukan hanya perbedaan nilai antar generasi, melainkan juga kegagalan dalam membangun komunikasi yang sehat. Ketika ego dan ekspektasi tidak dikelola dengan bijak, yang tersisa adalah luka emosional yang mengendap. Kondisi ini menimbulkan implikasi negatif seperti kecemasan, depresi, bahkan keterasingan emosional dalam keluarga.
Sebaliknya, jika hubungan anak dan orang tua dipenuhi cinta dan saling pengertian, maka keluarga akan menjadi tempat pulang yang penuh kehangatan dan ketenangan. Anak akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang kuat, lebih empatik, serta memiliki ketahanan mental yang tinggi. Orang tua pun akan mengalami masa tua yang lebih damai dan dihormati. Harmoni keluarga ini akan menciptakan generasi yang matang secara emosional dan sosial.
Dalam konteks pembelajaran, penting bagi masyarakat untuk melihat bahwa keharmonisan anak dan orang tua bukan sekadar hasil dari tradisi atau norma, melainkan sesuatu yang bisa dipelajari dan dilatih. Teori "Attachment" dari John Bowlby menyatakan bahwa kelekatan emosional yang aman antara anak dan orang tua adalah kunci kesehatan mental seumur hidup. Teori ini mengajarkan bahwa cinta dan kehadiran orang tua menciptakan anak-anak yang stabil secara emosi, dan mampu membangun hubungan sehat di masa dewasa.
Praktik positif bisa dilihat di negara maju seperti Swedia, di mana pendidikan keluarga dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak diajarkan pentingnya empati dan komunikasi yang terbuka dengan orang tua. Negara ini menunjukkan angka kekerasan dalam rumah tangga yang rendah serta tingkat kebahagiaan keluarga yang tinggi. Di sisi lain, di negara muslim seperti Turki, gerakan keluarga Islami semakin digalakkan, dengan berbagai pelatihan parenting dan program dakwah yang menekankan pentingnya birrul walidain sebagai bagian dari identitas keimanan.
Optimisme bagi keluarga di Indonesia tetap terbuka lebar. Meskipun tantangan zaman kian kompleks, kesadaran masyarakat akan pentingnya membangun relasi yang sehat dalam keluarga juga meningkat. Banyak komunitas mulai mengadakan diskusi keluarga, sekolah mulai melibatkan orang tua dalam proses pendidikan, dan tokoh agama turut menyerukan pentingnya keharmonisan rumah tangga sebagai bentuk ibadah.
Kini saatnya kita menanamkan dalam benak generasi muda bahwa mencintai ayah dan bunda bukan hanya perintah agama atau norma sosial, tetapi kebutuhan batin yang mendasar. Cinta itu bukan melemahkan, justru menguatkan karakter dan menyempurnakan kemanusiaan kita. Karena dalam cinta yang tulus pada orang tua, terdapat akar dari semua nilai luhur yang membuat hidup ini layak dijalani.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami