__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Di tengah semaraknya jargon demokrasi, masyarakat sering kali lupa bahwa dalam tubuh demokrasi sendiri, terkandung benih-benih kehancurannya. Salah satu elemen penghancur paling berbahaya adalah oligarki sekelompok elite ekonomi dan politik yang menjalin kolaborasi sistemik dengan aktor-aktor strategis demi melanggengkan kekuasaan. Dalam skema ini, mereka tak bekerja sendiri. Mereka memiliki “partner in crime” yang menyusup ke dalam institusi demokrasi itu sendiri: partai politik, media massa, lembaga survei, bahkan sebagian akademisi yang rela menyulap pengetahuan menjadi alat legitimasi. Demokrasi tidak lagi dibunuh oleh kudeta, tetapi perlahan dibekap oleh kawan-kawannya sendiri.

Secara historis, konsep oligarki telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Aristoteles membedakan oligarki dari aristokrasi: bila aristokrasi adalah kekuasaan segelintir elite untuk kebaikan publik, maka oligarki adalah kekuasaan oleh dan untuk kepentingan segelintir orang. Dalam konteks dunia modern, Jeffrey A. Winters, profesor ilmu politik dari Northwestern University dalam bukunya Oligarchy (2011), menyebut bahwa oligarki bukanlah sistem yang berseberangan dengan demokrasi, tetapi justru hidup subur di dalamnya. Mereka memanfaatkan kebebasan politik untuk mengatur kekuasaan demi memperbesar dominasi ekonomi mereka.

Salah satu contoh mencolok dari praktik oligarki modern terjadi di Italia, terutama pada era kekuasaan Silvio Berlusconi. Ia bukan hanya seorang perdana menteri, tetapi juga pemilik konglomerasi media Mediaset. Lewat kendali atas televisi nasional dan surat kabar, ia membentuk opini publik, meredam kritik, dan menyebarkan narasi yang menguntungkan kekuasaan. Media dalam hal ini bukan lagi watchdog, melainkan berubah menjadi anjing penjaga bagi tuannya oligarki. Media menjadi partner in crime yang bekerja menyamarkan kepentingan pribadi seolah sebagai kepentingan nasional.

Contoh lain yang patut dicermati berasal dari Filipina. Selama beberapa dekade, oligarki lokal menguasai sektor-sektor strategis seperti listrik, air, dan media. Keluarga-keluarga elite seperti Ayala, Lopez, dan Marcos membentuk jaringan kekuasaan yang saling menopang antara pengusaha dan politisi. Terutama dalam era Rodrigo Duterte, kita melihat bagaimana konglomerasi media seperti ABS-CBN dapat dijatuhkan karena dianggap tidak sejalan dengan kekuasaan. Ini adalah bentuk baru dari state capture, di mana negara dan oligarki saling memanipulasi satu sama lain demi keuntungan jangka pendek mengorbankan demokrasi dan pelayanan publik.

Konsep state capture yang dikembangkan oleh Joel S. Hellman dan Daniel Kaufmann dari World Bank menjelaskan fenomena ini secara tegas. Mereka mendefinisikannya sebagai situasi ketika kebijakan negara, peraturan, dan lembaga publik dibajak oleh kepentingan sempit elite tertentu, bukan untuk melayani masyarakat. Dalam konteks ini, demokrasi hanya menjadi kulit kosong. Pemilu tetap berjalan, parlemen tetap bersidang, tetapi semua keputusan strategis telah dikendalikan di luar panggung oleh oligarki dan sekutunya.

Kolaborasi antara oligarki dan institusi seperti partai politik atau media menciptakan echo chamber di mana kritik diredam, oposisi dilemahkan, dan rakyat dibanjiri narasi yang meninabobokan. Ketika partai politik menjadi kendaraan oligarkis, dan media menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, maka masyarakat kehilangan saluran otentik untuk menyuarakan aspirasi. Demokrasi kemudian terjebak dalam sirkulasi elite yang eksklusif dan tidak akuntabel.

Akibat langsung dari sistem ini adalah kerusakan pada fondasi keadilan sosial. Ketimpangan ekonomi terus melebar karena kebijakan publik berpihak pada investor besar, bukan rakyat kecil. Pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi sering menjadi korban pemotongan anggaran demi insentif fiskal bagi korporasi. Demokrasi dalam situasi ini tidak lagi menjamin kesejahteraan, tetapi justru memperparah ketidakadilan struktural.

Krisis demokrasi yang ditunggangi oligarki dan partner in crime-nya juga mendorong munculnya apatisme politik. Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap partai, parlemen, dan bahkan pemilu. Dalam How Democracies Die (2018), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dari Harvard University menulis bahwa kehancuran demokrasi tidak selalu datang melalui kudeta militer, tetapi bisa muncul dari dalam melalui pelemahan lembaga dan koalisi otoriter antara penguasa dan elite ekonomi yang menyingkirkan oposisi secara legal.

Indonesia harus belajar dari fenomena ini. Sinyal-sinyal penguatan oligarki dan lemahnya oposisi kini semakin terang. Konglomerasi media besar memonopoli informasi dan framing publik, sementara partai politik cenderung bersatu bukan karena ideologi, tetapi karena patronase. Dalam situasi seperti ini, ruang publik melemah dan kesadaran politik rakyat tersumbat oleh narasi tunggal yang dikendalikan elite.

Untuk menyelamatkan demokrasi, perlu dilakukan reformasi sistemik, termasuk pembatasan kepemilikan silang antara media dan elite politik, transparansi dana kampanye, serta penguatan peran masyarakat sipil. Demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan tentang kontrol rakyat terhadap kekuasaan dan keterlibatan nyata dalam perumusan kebijakan publik.

Demokrasi Indonesia tidak boleh disandera oleh persekongkolan kekuasaan yang merampas masa depan rakyat melalui cara-cara yang konstitusional namun culas. Lawan dari demokrasi bukan hanya diktator berseragam, tetapi juga mereka yang bersetelan jas, mengendalikan media, partai, dan bisnis yang tampil demokratis namun sejatinya perampok yang terorganisir.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie