__temp__ __location__

Penghapusan ambang batas (presidential threshold) sebesar 20% jumlah kursi di DPR atau perolehan 25% suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya merupakan kabar baik bagi demokrasi Indonesia. Banyak kalangan mengapresiasi kebijakan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menghadirkan substansi hukum baru dalam putusan No. 62/PUU-XXII/2024. Namun, butuh 33 kali pengujian materi terhadap Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebelum akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah selama ini Mahkamah Konstitusi tidak menyadari bahwa ketentuan tersebut inkonstitusional atau menyimpang dari mandat konstitusi.

Ia juga mengatakan bahwa sekalipun Mahkamah Konstitusi menyatakan hak konstitusional semua partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, tetap ada unsur politik dalam pembentukan UU yang dapat mengatur agar tidak muncul terlalu banyak pasangan calon. Sikap Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini membingungkan, karena mencoba menegakkan ketertiban konstitusional, tetapi pada saat yang sama membatasi jumlah pasangan calon yang dapat maju.

Pada Kamis (2/1/2025), permohonan kembali diusulkan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan dalil bahwa aturan ambang batas pencalonan presiden menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Aturan ini dinilai bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas yang adil serta hanya menguntungkan partai-partai besar. Alhasil, permohonan empat mahasiswa ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalil demi kebaikan demokrasi.

Pengamat politik Rocky Gerung dalam akun YouTube-nya menyebutkan bahwa sebelumnya permasalahan serupa sudah pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak ada yang berhasil dikabulkan. Ia menilai bahwa permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini dapat diterima karena hakim menilai tidak ada unsur kepentingan dalam gugatan tersebut.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya membacakan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan permohonan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden. “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua MK, Suhartoyo.

Penghapusan presidential threshold ini membawa era baru bagi demokrasi Indonesia. Dengan dihapuskannya ambang batas tersebut, semua partai politik memiliki hak untuk mengusung calon terbaiknya dan ikut berpartisipasi dalam pemilu, yang merupakan salah satu pilar demokrasi. Sebelumnya, tingginya ambang batas ini merusak tatanan demokrasi dengan mengesampingkan partai-partai kecil yang tidak mencapai angka minimal tersebut serta merampas hak politik mereka, meskipun mereka memiliki kader yang berkualitas.

Apabila kita merujuk pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik bersangkutan,” maka dapat dilihat bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta melanggar moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang tidak dapat ditoleransi. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945.

Dihapuskannya presidential threshold ini berdampak baik bagi demokrasi kita dengan semakin banyaknya calon yang berpartisipasi dalam Pemilu 2029. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tetap menyatakan perlunya peninjauan oleh pembentuk UU agar jumlah calon tidak terlalu banyak. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat untuk mengawal putusan UU Pemilu ini agar tidak direvisi secara sewenang-wenang oleh pembentuk UU, yang dapat menimbulkan kegaduhan dan menghilangkan rasa keadilan di tengah masyarakat. Banyak aturan yang dibuat justru menimbulkan polemik, seperti revisi UU Pilkada oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang berupaya mengakali putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dengan melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu, yang akhirnya memicu kegaduhan. Masyarakat merespons dengan simbol garuda biru sebagai tanda bahwa Indonesia dalam kondisi darurat. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat akhirnya membuat DPR membatalkan revisi UU yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya partisipasi warga negara dalam menjaga dan merawat demokrasi Indonesia.

Dengan penghapusan presidential threshold ini dan bertambahnya jumlah calon yang diusung oleh partai politik, masyarakat dapat menilai calon pemimpin berdasarkan kualitas akademis maupun moralitas mereka, sehingga diharapkan dapat membawa Indonesia menuju kesejahteraan. Apresiasi setinggi-tingginya kepada empat mahasiswa Hukum UIN Sunan Kalijaga atas kepedulian dan keberanian mereka dalam memperjuangkan masa depan demokrasi Indonesia.

“Jadi, selamat datang era baru. Stop mengucapkan salam 0 persen, kita mulai dengan salam akal sehat.” - Rocky Gerung.

Penulis: Rizki Ramadhan Sitepu
Editor: Gusti Rian Saputra

Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie