Oleh : Bachtiar S. Malawat (Mahasiswa Pendidikan IPA Unutara)
Dalam setiap kontestasi politik, pendidikan selalu menjadi menu andalan yang disuguhkan manis di atas piring janji-janji kampanye. Tak terkecuali pada pemilu 2024, ketika pasangan Prabowo-Gibran menggaungkan program “Makan Bergizi Gratis” (MBG) di sekolah dan madrasah se-Indonesia.
Program ini, meski kelihatan mulia dan menyentuh sisi kesejahteraan anak-anak bangsa, justru membuka kotak pandora yang selama ini tertutup: pendidikan tidak sedang baik-baik saja. Dimana di balik aroma sedap MBG, terdapat kegamangan arah, tumpang tindih skema anggaran, dan ilusi tentang pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Di sisi lain, di tingkat lokal, Gubernur Maluku Utara Sherly Laos dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe mengusung program “pendidikan gratis” untuk seluruh jenjang SMA/SMK sederajat sebagai program unggulan daerah. Lagi-lagi, rakyat bersorak.
Hanya saja seperti biasa, setelah sorak-sorai reda, yang tersisa adalah tanya, dari mana dananya? Apakah gratis berarti benar-benar tanpa ongkos atau sekadar memindahkan beban dari rakyat ke pejabat birokrasi?
Kedua program ini, MBG dan pendidikan gratis mewakili semangat populisme pendidikan, tetapi juga menyimpan problem struktural yang tak ringan. Mari kita ulas dengan pisau kritis.
Program MBG dirancang sebagai pendekatan intervensi negara untuk mengatasi gizi buruk dan stunting melalui sekolah. Ini bukan program baru. Sudah ada sejak era Soeharto, dikenal sebagai PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah). Bedanya, skala MBG kali ini nasional dan mengandalkan APBN dalam jumlah jumbo: lebih dari Rp 400 triliun jika dieksekusi penuh.
Namun, ketika program ini diletakkan dalam lanskap pendidikan nasional, ia tampak seperti tambalan yang glamor namun jauh dari akar persoalan. Pendidikan kita kekurangan guru, kurikulum tidak relevan dengan zaman, sistem zonasi diskriminatif, dan digitalisasi sekolah jalan di tempat.
MBG, dengan segala niat baiknya, justru berpotensi memperluas distorsi. Apa gunanya perut kenyang jika anak belajar di ruang kelas bocor, tanpa guru berkualitas, dan tanpa masa depan yang jelas?
Alih-alih menyelesaikan akar masalah pendidikan, MBG berisiko menjadi proyek mercusuar yang hanya menambah barisan kontraktor dan pemilik catering di daftar penyedia tender.
Di Maluku Utara, program pendidikan gratis yang didorong Sherly-Sarbin juga memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia menjawab harapan banyak orang tua yang kesulitan membiayai pendidikan anak, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Namun di sisi lain, program ini justru membebani postur APBD yang sudah sempit, serta menyandera kualitas pendidikan di balik narasi populis.
Hemat penulis, Jika demikian program ini dijalankan akan melahirkan banyak ketimpangan. sekolah kekurangan biaya operasional. Kepala sekolah mengeluh karena dana BOS tidak cukup untuk membayar honor guru honorer, membeli ATK, hingga mendanai kegiatan ekstrakurikuler. Pemerintah daerah, alih-alih menambah anggaran pendidikan, justru memangkas di pos lain dan berharap bantuan pusat yang tak kunjung datang.
Efeknya, pendidikan di Maluku Utara menjadi pendidikan gratis yang kehilangan ruh. Siswa tidak lagi dipungut iuran, tetapi sekolah berjalan seperti zombie administratif, ada, tapi tak hidup.
Pemerintah daerah berkali-kali menyebut bahwa program pendidikan gratis Sherly-Sarbin tetap efisien karena menyasar kelompok yang tepat dan menghapus pungutan liar. Namun dalam praktiknya, efisiensi sering menjadi eufemisme dari pemotongan dana penting yang menyokong kualitas pendidikan.
Fakta yang akan terjadi, di banyak sekolah, guru honorer yang dibayar dari dana komite kini tidak mendapat honor. Sekolah yang dulu bisa mengadakan lomba atau pelatihan kini bergantung pada sponsor atau donasi tak menentu. Sementara birokrasi pendidikan malah tumbuh subur, kepala dinas baru, staf khusus, pejabat pelaksana, semuanya dibayar dengan anggaran pendidikan.
Ini adalah ironi besar. Ketika pendidikan dibebaskan dari biaya untuk siswa, justru biaya administrasi pendidikan naik. Seolah-olah pendidikan gratis bukan tentang hak rakyat, tetapi cara baru elite lokal mencitrakan diri tanpa komitmen anggaran yang konsisten.
Masalah besar dari program MBG dan pendidikan gratis bukan pada niatnya, tetapi pada cara negara dan pemerintah daerah memahami akar masalah pendidikan. Mereka melihat pendidikan sebagai soal akses dan konsumsi, bukan soal transformasi sosial dan produksi daya kritis.
Program MBG mengasumsikan bahwa dengan makan gratis, anak-anak otomatis akan belajar lebih baik. Padahal tidak ada jaminan makanan bergizi menghasilkan nilai tinggi atau kreativitas. Sementara pendidikan gratis di Maluku Utara mengasumsikan bahwa dengan menghapus iuran, maka kesetaraan tercapai. Padahal, tanpa kualitas, pendidikan hanya menjadi formalitas berbiaya nol.
Negara dan daerah absen dalam memperjuangkan esensi pendidikan, membebaskan manusia dari ketertindasan struktural dan memperkuat kapasitas rakyat untuk memaknai dunianya. Mereka lebih sibuk mengurus kuota makan, seragam gratis, atau daftar nama penerima bantuan, ketimbang menata ulang sistem pengajaran, kesejahteraan guru, dan keberdayaan komunitas sekolah.
Pendidikan bukan cuma isi perut saja, seperti kerja, lalu hafal. Pendidikan itu tentang isi kepala bukan hanya isi kepala siswa tapi isi kepala guru juga. Jangan sampai guru seperti tong kosong.
Untuk mengatasi kebuntuan ini, solusi tidak bisa setengah hati. Butuh perubahan paradigma. Pendidikan tidak boleh dilihat hanya dari sudut ekonomi rumah tangga, tetapi sebagai pilar peradaban yang harus dijamin negara.
Pendidikan bukan barang diskon yang bisa dipakai untuk menarik simpati pemilih. Ia adalah hak dasar rakyat dan fondasi utama bangsa. Janji-janji populis seperti MBG atau pendidikan gratis hanyalah bungkus manis yang bisa basi jika tidak dibarengi dengan kesadaran politik dan anggaran yang berkeadilan.
Kita tidak menolak makan gratis atau pendidikan gratis. Tapi kita menuntut lebih dari itu, pendidikan yang memanusiakan, bukan sekadar membesarkan angka partisipasi; pendidikan yang membebaskan, bukan membius lewat simbolisme dan retorika pejabat.
Prabowo dan Sherly-Sarbin harus belajar bahwa rakyat hari ini tidak butuh pencitraan. Mereka butuh kejujuran dalam merancang masa depan. Dan pendidikan, jika terus dipolitisasi tanpa visi dan anggaran yang berakar, hanya akan menjadi panggung sementara dalam pusaran kekuasaan yang menggerogoti harapan.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami