__temp__ __location__

Oleh: Kanda Syahrir Ibnu (NDPers Nasional | Akademisi | Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Maluku Utara)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Malam ini, saya berdiri di hadapan hadirin sekalian bukan sekadar hanya sebagai kader PII, tetapi sebagai seorang pembelajar yang lahir, dalam proses tumbuh, dan dibentuk oleh tanah dan air Maluku Utara. Saya tahu betapa pendidikan kita masih terseok. Saya tahu betapa banyak pelajar di pelosok yang belajar dalam keterbatasan. Tapi saya juga tahu dan saya yakin bahwa perubahan bisa lahir dari forum seperti ini, dari keberanian kita merumuskan arah, dan dari semangat kita untuk terus belajar dan berjuang.

Malam ini, kita berkumpul dalam semangat satu tarikan nafas perjuangan. Tepat 78 tahun sejak Pelajar Islam Indonesia memproklamasikan dirinya bangkit dari rahim sejarah bangsa yang sedang mencari jati diri. Hari Bangkit ini bukan sekadar ritual seremonial, ia adalah sebagai panggilan jiwa, panggilan untuk kembali pada ruh perjuangan yang dahulu menyalakan cahaya juang di tengah kegelapan zaman.

Momentum ini semakin bermakna dengan kehadiran Bapak Wakil Gubernur Maluku Utara, yang menandai bahwa gerakan pelajar bukanlah entitas yang terpisah dari arah pembangunan daerah, tetapi bagian penting dari denyut kebijakan publik, pendidikan, dan masa depan sosial politik kita. Dengan dukungan pemimpin daerah, semangat kolaboratif ini harus kita jaga dan maknai dengan kerja-kerja nyata dalam bidang pendidikan, sosial, dan moralitas publik.

“Maju ke Gelanggang Walau Seorang”

Inilah bukan sekadar slogan. Ia adalah dentuman ideologis. Ia bukan teriakan kosong di spanduk atau di akhir pidato. Ia adalah janji suci para pelajar yang dibaiat dalam barisan kader, yang menancapkan prinsip bahwa keberanian, keteguhan, dan integritas harus mengalir dalam nadi aktivis pelajar Islam.

Saudara-saudaraku sekalian, PII tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari luka bangsa yang dijajah dan diinjak harga dirinya. Ia tumbuh dari keresahan para pelajar muslim yang menyaksikan bagaimana pendidikan hanya menjadi alat kolonialisasi, bukan pencerahan. Tahun 1947, dalam situasi bangsa yang baru merdeka secara de jure namun belum merdeka secara struktur dan budaya, para pelajar Islam bangkit. Mereka berkata, “Cukuplah kebodohan menjadi rantai kita, dan cukuplah penjajahan menjadi peta jalan kita.”

Secara sosiologis dapat kita lihat bahwa, kebangkitan PII adalah bentuk dari mobilisasi kolektif, atau dalam istilah sosiolog Alain Touraine, “sebuah ekspresi identitas dan proyek sejarah dari aktor sosial yang sadar akan perubahan zaman.” Para pendiri PII adalah aktor perubahan itu. Mereka bukan hanya pelajar biasa, tapi mereka adalah pelajar yang memaknai belajar sebagai ibadah dan aktivisme sebagai tanggung jawab moral.

Mereka tidak bersembunyi di balik buku-buku pelajaran, tetapi mereka juga menjadikan buku sebagai senjata. Mereka mendalami Al-Qur’an dan sunnah, tapi mereka juga melawan ketidakadilan di tengah masyarakat. Mereka membaca sejarah bukan untuk nostalgia, tapi untuk mencari amunisi perjuangan tampa henti.

Maka tak heran, sejak kelahirannya, PII bukan hanya membentuk pelajar menjadi pintar. Tetapi, Ia membentuk pelajar ideologis. Pelajar yang paham bahwa hidupnya bukan sekadar menumpuk ijazah, tetapi menapaki jejak mulia kenabian dalam menegakkan kebenaran.

“Maju ke Gelanggang Walau Seorang”

Inilah titik ideologis. Sebuah sikap keberanian melawan arus zaman, berdiri di tengah badai dengan prinsip, dan berkata secara lantang “saya tidak takut, karena saya membawa nilai!” Inilah kalimat sakti yang ditanamkan dalam ruh setiap kader, dibaiat dengan semangat idealisme, bukan pragmatisme.

Saudara-saudaraku para pelajar, aktivis, dan penggerak perubahan. Kita hidup di zaman ketika dunia bergerak dengan kecepatan algoritma. Di satu sisi, kita menyaksikan kemajuan teknologi yang luar biasa, tetapi di sisi lain, kita melihat kemunduran spiritual dan moral yang sangat mengkhawatirkan. Generasi pelajar hari ini adalah generasi yang tidak hanya sekedar menghadapi ujian akademik, tetapi juga ujian jati diri. Inilah tantangan kita, krisis identitas pelajar muslim di tengah globalisasi nilai dan desakan budaya viral.

Di tengah pusaran perubahan ini, PII harus tampil sebagai gerakan pendidikan adaptif  berbasis kearifan lokal. Kita tidak boleh tercerabut dari akar budaya, sejarah, dan nilai-nilai Islam yang telah lama menjadi sumber hikmah dan orientasi hidup. Seperti yang pernah dikatakan oleh Syed Naquib al-Attas (sosiolog dan pemikir intelektual Muslim)

“Tujuan pendidikan bukan sekadar menghasilkan manusia yang tahu, tapi manusia yang tahu apa yang harus ia lakukan dalam hidup.”

Dan dari tokoh bangsa seperti Kuntowijoyo, kita diajarkan bahwa:

“Islam harus ditransformasikan dari kekuatan simbolik menjadi kekuatan struktural. Gerakan Islam harus masuk ke dalam perubahan sosial dengan ilmu, bukan semata-mata seruan,”

PII harus menjadi pelopor pendidikan yang tidak hanya menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi juga  harus mampu mengarahkan zaman. Kita tidak boleh menjadi korban dari derasnya modernisasi yang kehilangan ruh. Di sinilah pentingnya kita menggagas pendidikan adaptif berbasis kearifan lokal.  artinya?

  1. Adaptif secara teknologi dan metode belajar, tetapi tetap berpijak pada nilai Qur’an dan Sunnah.
  2. Menghidupkan kembali tradisi belajar khas pelajar Islam Indonesia, yaitu: tradisi literasi, diskusi, dan musyawarah.
  3. Menjadikan kearifan lokal sebagai medium dakwah dan pendidikan karakter.

Dalam kearifan lokal di Maluku Utara misalnya, kita mengenal istilah ade kolano (rasa kebersamaan), adat se atorang (norma yang mengatur kehidupan sosial), dan marimoi ngone futuru (semangat untuk bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama) konsep-konsep ini sejatinya Bersinergi secara alami dengan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah. Maka, pendidikan PII ke depan tidak boleh tercerabut dari nilai-nilai lokal. Kita adalah pelajar Islam yang hidup di Indonesia, bukan pelajar tanpa tanah, tanpa akar.

Saudara-saudaraku, kader PII se-Maluku Utara 

“Maju Ke Gelanggang Walau Seorang”

Kalimat ini bukan sekadar slogan. Ia adalah mantra perjuangan. Ia adalah sumpah batin yang ditorehkan dalam setiap jiwa pelajar yang dibai’at dalam nafas PII. Ia adalah dentuman ideologis yang bukan hanya membangkitkan semangat, tapi juga menanamkan tanggung jawab untuk menjadi pengubah zaman.

Dalam sejarah panjangnya, Pelajar Islam Indonesia bukan dibesarkan oleh jumlah, melainkan oleh keteguhan. Dalam dekapan malam-malam perkaderan, dalam lirih doa-doa Khusyu yang dilantunkan, para pelajar dididik bukan menjadi pengekor, apalagi pecundang, melainkan pemikul risalah perubahan yang bersandar kepada lembaran prinsip  Qur’an dan Sunnah.

PII mengajarkan bahwa  kesendirian bukan alasan untuk menyerah, melainkan peluang untuk menyalakan api perubahan. Dalam semangat ini, pelajar Islam bukan sekadar penghuni bangku sekolah atau universitas. Ia adalah pejuang pemikiran, pembela kebenaran, dan pelopor transformasi sosial. Ia hadir bukan untuk terpolakan, tapi untuk membentuk pola zaman.

Inilah misi keislaman yang sejati, kita tidak diam dalam sistem yang tidak adil. Kita tidak tunduk pada kemapanan yang membungkam. Kita tidak patuh pada budaya yang membunuh daya kritis pelajar. Dalam ruh “Maju ke gelanggang walau seorang,” kita diajarkan bahwa keteguhan iman dan ide adalah kekuatan paling murni dalam sejarah perubahan.

Malam ini, kita dihadapkan pada realitas yang menyedihkan, budaya instan dan ketergantungan pada pengakuan semu. Banyak pelajar kita lebih sibuk mengejar viralitas daripada nilai. Lebih senang mendulang likes ketimbang ilmu. Lebih bangga dengan status sosial dengan mengekor pada pejabat dan penguasa ketimbang kontribusi sosial.

Kita harus memutus siklus pelajar yang menjadi korban zaman. Kita harus keluar dari jebakan politik simbolik yang hanya menjadikan pelajar sebagai “figuran” dalam panggung-panggung elite. PII bukan panggung popularitas. Ia adalah  madrasah ideologis yang melahirkan pelajar dengan akal tajam dan hati jernih.

Seorang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyatakan bahwa pendidikan sering kali menjadi alat untuk mempertahankan dominasi kelas sosial. Tapi dalam gerakan seperti PII, pendidikan menjadi alat untuk membongkar dominasi, membebaskan pelajar dari ketundukan struktural, dan mengangkat kesadaran kritis agar menjadi pelaku sejarah, bukan penonton apalagi pengekor sejarah.

Apa Yang Kita Harapkan Dari Pelajar Hari Ini???

Tentunya, bukan hanya IPK tinggi atau medali olimpiade, tetapi juga kepekaan sosial, keberanian bersuara, dan keberpihakan pada yang lemah. Inilah yang dimaksud sebagai agen perubahan. Pelajar harus menjadi bagian dari gerakan kebaikan, bukan pengikut trend, apalagi sampai menjadi penjilat kekuasaan.

Dalam pandangan sosiologi, perubahan sosial tidak pernah lahir dari kerumunan yang diam, melainkan dari kelompok kecil yang berani mengganggu kenyamanan struktur lama. Dan pelajar, jika ditempa dengan nilai, maka dapat menjadi pengganggu konstruktif terhadap ketidakadilan, kemalasan berpikir, dan stagnasi sosial. Maka PII bukan hanya tempat berhimpun, tapi tempat menyiapkan para pelopor peradaban.

Tentunya, kita tidak bisa bicara tentang gerakan tanpa membicarakan fondasi ideologisnya. Di sinilah kita kembali kepada  Al-Qur’an dan Sunnah.

Allah berfirman (QS. Ar-Ra'd: 11)

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri

Inilah dasar perjuangan kita. Kita tidak menunggu datangnya perubahan dari luar. Kita tidak berharap pada figur politik. Kita tidak bersandar pada negara. Perubahan itu kita mulai dari dalam, dari pemahaman diri, dari kesadaran kolektif, dari keberanian melawan kebodohan dan kebatilan.

Dengan spirit tauhid, kita percaya bahwa setiap gerakan kita adalah bagian dari ibadah. Setiap ide yang kita lontarkan, setiap debat yang kita lakukan, setiap aksi sosial yang kita galang, semuanya harus berangkat dari kesadaran untuk menghadirkan kemuliaan. Yakni rahmat bagi semesta alam.

Saudara-saudaraku

PII bukan hanya organisasi. Ia adalah madrasah kader, tempat para pelajar ditanamkan nilai, ditajamkan akal, dan ditempa jiwanya. Sejarah telah mencatat, dari rahim PII lahir para cendekiawan, pemikir, pemimpin bangsa, dan pejuang umat. Namun itu bukan semata karena metode pengkaderannya, melainkan karena semangat ideologis yang diwariskan secara turun-temurun.

PII tidak mengajarkan kita menjadi pelajar biasa-biasa saja. PII membentuk kita menjadi intelektual pembebas yang berpihak pada kebenaran, yang berani menyuarakan keadilan, dan yang tidak pernah menjual integritas demi posisi atau panggung duniawi.

Dalam kata-kata  bijak yang disampaikan Franz Magnis Suseno, seorang intelektual adalah mereka yang “hidup dari kebenaran dan untuk kebenaran.” Inilah model pelajar PII, bukan penurut kekuasaan, bukan penjilat jabatan, tapi penuntun masyarakat menuju kesadaran dan perubahan.

Akhirnya, saya ingin menutup Tausiyah Perjuangan Hari bangkit PII ini dengan sebuah refleksi.

Hari Bangkit ke-78 Ini Bukan Sekadar Mengenang, Tetapi Meneguhkan Kembali.

Meneguhkan nilai, menguatkan barisan, dan memperjelas arah. PII harus menjadi mercusuar gerakan pelajar yang berakar pada nilai-nilai Islam, menyinari masyarakat dengan ilmu dan adab, dan membangun peradaban melalui pendidikan, kolaborasi, dan keberanian berpikir.

Ingatlah, kita bukan sekadar pelajar. Kita adalah generasi penerus yang sedang mengukir sejarah. Kita adalah pemimpin masa depan yang  dipersiapkan bukan dalam euforia massa, tapi dalam sepi kontemplasi dan kerasnya tempaan kaderisasi.

Bila dunia menuntut kita diam, kita akan bersuara. Bila zaman memaksa kita menunduk, kita akan berdiri tegak. Karena  kita telah dibaiat, kita telah ditanamkan ruh idealisme yang tidak bisa dibeli atau ditukar dengan apapun. “Maju ke gelanggang walau seorang!”

Teguh dalam prinsip, konsisten dalam nilai, dan istiqamah dalam perjuangan

Kita tidak sedang mencari panggung kawan, kita sedang membangun peradaban. Kita tidak sedang mengejar jabatan, kita sedang memikul amanah zaman. Dan kita tidak akan berhenti… sampai Indonesia menjadi negeri yang adil, beradab, dan beriman!

PII Bangkit…

Pelajar Bergerak…

Indonesia Beradab…

Wabillahi taufik Wal hidayah

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie