__temp__ __location__

Penulis: Prof. Dr. Ali Ngabalin, S.Ag., M.Si (Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan dan Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional)

Prabowo Subianto: “Kemerdekaan penuh Palestina adalah kunci stabilitas dan keadilan di Timur Tengah. Dunia Internasional harus didesak untuk menghormati kemerdekaan Palestina sebagai negara berdaulat dan independen, hidup berdampingan secara damai dengan Israel”.

Beberapa abad terakhir, banyak sekali orang-orang dari berbagai bidang, khususnya para politisi, jenderal dan ekonom terinspirasi dan sering membawa jargon kuno ini. 

"Si vis pacem, para bellum” jika kau menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Namun, apa yang kita saksikan di Gaza hari ini justru sebaliknya: mereka yang mengklaim memperjuangkan keamanan malah menciptakan spiral kekerasan tanpa akhir, seolah-olah perang itu sendiri telah menjadi tujuan, bukan sarana menuju perdamaian.

Saya memulai tulisan ini dengan rasa duka yang mendalam, duka sebagai sesama manusia, bukan semata sebagai politisi atau akademisi. Duka atas syahidnya dr. Marwan Al-Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza, yang gugur bersama istri dan anak-anaknya dalam serangan udara Israel beberapa hari lalu. 

Rumahnya dihancurkan oleh rudal, dan tubuhnya yang selama ini menyelamatkan ribuan nyawa, kini tidak lagi selamat. Dr. Marwan bukan hanya seorang dokter. Ia adalah simbol kemanusiaan yang melampaui batas-batas politik.

Tangannya yang terampil tidak pernah bertanya agama pasien yang ia tangani. Matanya yang lelah tidak pernah membeda-bedakan apakah yang terbaring di hadapannya adalah anak Palestina atau Israel. 

Baginya, yang ada hanyalah nyawa manusia yang harus diselamatkan. Kematiannya adalah kehilangan bagi seluruh umat manusia, dan atas nama DPP Partai Golkar, atas nama rakyat Indonesia, dan atas nama kemanusiaan universal, saya menyampaikan belasungkawa yang tak terperi.

Tragedi ini harus menjadi titik balik, bukan hanya dalam diplomasi, tapi juga dalam kesadaran kita sebagai bangsa besar yang punya sejarah panjang membela kemerdekaan. 

Mari kita tegaskan lagi: ini bukan semata konflik agama, ini bukan soal Islam melawan Yahudi atau Arab melawan Israel. 

Konflik ini adalah manifestasi dari kerakusan, ideologi supremasi, bisnis senjata, dan keangkuhan politik global yang telah berlarut-larut selama puluhan tahun.

Perang ini menggunakan proxy agama dan keyakinan untuk melakukan ajang pamer kecanggihan teknologi militer, dan ambisi kekuasaan dalam satu arena berdarah yang tak kunjung usai.

Inilah paradoks zaman kita: di era ketika teknologi memungkinkan kita berkomunikasi dengan siapa saja di dunia dalam hitungan detik, ketika ilmu pengetahuan telah membawa kita ke luar angkasa dan menemukan obat untuk penyakit yang dulu dianggap kutukan karena betapa mematikannya, kita masih terjebak dalam siklus kekerasan yang primitif.

Kita masih membiarkan perempuan dan anak kecil, orang tak berdosa mati karena nafsu orang dewasa yang egois.

Dalam konteks itulah, saya menyambut baik pernyataan Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, yang menegaskan bahwa Indonesia tetap konsisten mendukung solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan terbaik dan paling rasional untuk menghentikan perang. 

Saya mendengar sendiri, Presiden Prabowo menyebut bahwa kemerdekaan penuh Palestina adalah kunci stabilitas dan keadilan di Timur Tengah.

Dunia internasional harus didesak untuk menghormati kemerdekaan Palestina sebagai negara berdaulat dan independen, hidup berdampingan secara damai dengan Israel. Presiden Prabowo tidak sedang sendiri. Kami dari Partai Golkar, dengan semangat politik luar negeri bebas aktif, sepenuhnya mendukung langkah-langkah Presiden dalam mendorong solusi damai berbasis keadilan.

Kami juga menyerukan kepada seluruh anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, agar mengaktifkan semua kanal diplomasi parlemen, mengirim pesan kuat ke dunia: Indonesia tidak akan pernah tinggal diam saat rakyat Palestina dibantai.

Namun, perjuangan tak cukup hanya di meja diplomasi. Kita harus menjawab tangisan Gaza dengan tindakan nyata. Gaza hari ini kekurangan dokter, obat-obatan, dan fasilitas medis. Setelah kepergian dr. Marwan Al-Sultan, kebutuhan itu semakin mendesak. 

Rumah sakit-rumah sakit di Gaza beroperasi dengan kapasitas minimal, bahkan beberapa di antaranya terpaksa tutup karena tidak ada tenaga medis yang tersisa.

Anak-anak lahir dalam kondisi malnutrisi, para ibu melahirkan tanpa bantuan medis yang memadai, dan para lansia meninggal karena tidak ada akses ke obat-obatan dasar.

Maka, izinkan saya menyerukan kepada seluruh dokter di dunia—apa pun agama dan kebangsaannya—untuk memberikan waktu, ilmu, dan keberaniannya membantu rakyat Palestina. 

Ingatlah, yang kalian tolong bukan hanya umat Islam, tetapi anak-anak manusia yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Ini adalah panggilan kemanusiaan yang melampaui batas-batas politik, agama, dan kewarganegaraan.

Ada pernyataan dari seorang warga Palestina dari komunitas minoritas Katolik Menonit, yang berkata dengan getir: “Kami tidak meminta senjata. Kami hanya meminta kehadiran manusia-manusia yang masih punya hati”.

Kata-katanya mengingatkan kita bahwa di balik statistik korban yang terus bertambah, ada wajah-wajah manusia yang sama seperti kita—mereka yang punya harapan, impian, dan keinginan sederhana untuk hidup dalam damai. Bahkan sebagian komunitas Yahudi progresif di Amerika dan Eropa hari ini juga bersuara keras mengutuk kebijakan militer Israel. Mereka memahami bahwa nasionalisme yang sejati bukan tentang membela tanah semata, tapi membela hak hidup manusia lain di tanah yang sedang dijajah.

Mereka menyadari bahwa keamanan Israel tidak akan pernah tercapai selama rakyat Palestina terus hidup dalam penindasan dan keputusasaan.

Inilah yang harus kita pahami: perdamaian sejati tidak dapat dibangun di atas penderitaan pihak lain. Keamanan yang dibangun dengan mengorbankan kemanusiaan adalah keamanan yang rapuh dan sementara.

Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa penindasan hanya akan melahirkan perlawanan, dan perlawanan akan melahirkan siklus kekerasan yang tak berkesudahan.

Sekali lagi saya sampaikan: Jangan pernah letih memperjuangkan Palestina. Jangan pernah capek bersuara untuk kemanusiaan. Saya pun tidak capek-capek mengucapkan ini.

Kemerdekaan Palestina bukan mimpi kosong. Ia adalah amanah sejarah, ia adalah tugas moral setiap manusia yang masih percaya pada keadilan. Indonesia—di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo—tidak akan gagal menjalankannya, karena perjuangan ini adalah perjuangan untuk mempertahankan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Gaza menangis, dunia harus mendengar. Palestina berdarah, kita semua harus bertindak.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie