__temp__ __location__

Oleh Syaefunnur Maszah

Dalam sejarah relasi antara agama dan sekularisme, Islam kerap menjadi sasaran kesalahpahaman yang berakar dari warisan kolonialisme, distorsi dalam wacana keilmuan, hingga bias geopolitik kontemporer. Sebagian kalangan sekuler memandang Islam sebagai agama yang menghambat kemajuan, meminggirkan perempuan, mengekang kebebasan, atau bahkan bertentangan dengan prinsip rasionalitas modern. Pandangan ini sering kali lahir bukan dari pemahaman yang utuh terhadap ajaran Islam, melainkan dari representasi yang parsial dan terlepas dari konteks sejarah serta nilai-nilai universal yang dianut Islam itu sendiri.

Edward Said dalam Orientalism (1978) menjelaskan bagaimana dunia Barat membentuk imaji tentang Timur termasuk Islam sebagai entitas yang eksotik, stagnan, dan irasional. Penilaian itu, menurut Said, tidak netral, melainkan dibentuk oleh relasi kuasa yang mengakar sejak masa kolonial. Narasi-narasi yang membingkai Islam sebagai "yang lain" turut memperkuat citra negatif di kalangan sekuler. Sementara itu, tokoh non-Muslim seperti Karen Armstrong dalam Islam: A Short History (2000) justru menunjukkan bahwa Islam, sejak awal, membawa visi etis dan sosial yang kuat: menegakkan keadilan, menolong kaum lemah, serta memuliakan ilmu dan belas kasih.

Pemikir Muslim kontemporer seperti Prof. Tariq Ramadan menegaskan bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan nilai-nilai modern seperti demokrasi, hak asasi, dan etika publik, tetapi justru memiliki landasan nilai yang mendalam untuk mewujudkan masyarakat adil dan bermartabat. Dalam berbagai karyanya, ia mendorong Muslim untuk tampil percaya diri di ruang publik, dengan identitas yang spiritual sekaligus rasional, tanpa harus menjadi apologetik atau tercerabut dari akar Islam yang otentik.

Berbagai kritik terhadap Islam sering diarahkan pada isu-isu seperti perang, poligami, perbudakan, kedudukan perempuan, kebebasan beragama, dan kebebasan berpikir. Namun, pembacaan yang cermat terhadap teks dan konteks menunjukkan bahwa kritik-kritik tersebut tidak tepat. Islam meletakkan prinsip etik yang jelas: kemaslahatan, keadilan, dan rahmat. Dalam konteks perang, misalnya, Islam membatasi hanya pada pembelaan diri dan melarang agresi (QS al-Baqarah [2]:190). Perang bukan tujuan, melainkan bentuk terakhir untuk melindungi nyawa dan martabat, dengan aturan moral yang ketat.

Terkait poligami, QS an-Nisā’ [4]:3 menyebutkan bahwa praktik ini bersifat opsional dan dibatasi oleh syarat keadilan yang ketat. Bahkan, ayat itu diakhiri dengan alternatif monogami bila keadilan tidak bisa ditegakkan. Adapun soal perbudakan, Al-Qur’an tidak mendorong keberlanjutan sistem tersebut. Sebaliknya, ia mendorong penghapusannya secara bertahap dan beradab. Pembebasan budak dijadikan bentuk ibadah sosial dan penebusan dosa (QS al-Balad [90]:13), serta amal utama dalam banyak ayat lainnya (QS an-Nūr [24]:33; QS al-Mujādilah [58]:3; QS al-Baqarah [2]:177). Mekanisme ini merupakan pendekatan transformasi sosial secara gradual yang bertujuan mengakhiri perbudakan sebagai struktur.

Kebebasan beragama adalah prinsip pokok dalam Islam, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah [2]:256, "Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama." Islam mengakui bahwa hidayah adalah urusan Allah, dan manusia diberi hak untuk memilih keyakinannya. Kebebasan berpikir dan berilmu juga sangat dijunjung tinggi. Wahyu pertama dalam QS al-‘Alaq [96]:1–5 adalah perintah untuk membaca dan belajar, dan QS az-Zumar [39]:9 mengangkat derajat orang yang berilmu sebagai tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui. Ini menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam, dari Baghdad ke Andalusia, yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, al-Farabi, dan Al-Khawarizmi.

Kedudukan perempuan dalam Islam dijelaskan secara prinsipil dalam QS al-Ḥujurāt [49]:13 yang menegaskan kesetaraan spiritual dan moral antara laki-laki dan perempuan. Dalam sejarah kenabian, perempuan tidak hanya diposisikan sebagai objek perlindungan, tetapi juga sebagai subjek perubahan sosial. Istri Nabi, Khadijah, adalah pengusaha sukses dan pendukung utama dakwah Islam; Aisyah adalah perawi hadits, guru, dan pemimpin intelektual di masa setelah Nabi wafat.

Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa Islam bukan sistem tertutup, melainkan kerangka nilai yang terbuka untuk peradaban dan keadilan. Dalam dunia yang makin plural, pemahaman yang keliru terhadap Islam hanya akan memperlebar jurang prasangka. Sebaliknya, memahami Islam secara utuh akan membuka ruang baru untuk kerja sama lintas agama, budaya, dan bangsa dalam membangun masa depan yang lebih adil dan bermartabat.

Implikasi sosiologis dari pelurusan makna Islam ini sangat besar. Pertama, umat Muslim akan lebih percaya diri menjadi bagian dari masyarakat global tanpa harus mengorbankan nilai-nilai agamanya. Kedua, publik dunia akan memiliki referensi yang lebih akurat tentang Islam, sehingga lebih siap menghadapi tantangan bersama dengan pendekatan yang humanistik dan kolaboratif.

Dari sinilah kita bisa mengambil dua pelajaran penting. Pertama, Islam bukan penghalang modernitas, melainkan sumber etika pembebasan yang menjunjung martabat manusia, tanpa membeda-bedakan ras, jenis kelamin, atau status sosial. Kedua, Islam adalah agama yang mendorong dialog terbuka dan pencarian ilmu sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Kesalahpahaman terhadap Islam harus diluruskan bukan untuk membela identitas sempit, melainkan demi keadilan epistemik dan perdamaian global yang lebih tulus dan berkelanjutan.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie