__temp__ __location__

HARIAN NEGERI, Yogyakarta- Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa konflik berkepanjangan di Gaza merupakan cermin rapuhnya sistem perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara global. Hal ini disampaikannya dalam kuliah umum bertema "Hak Asasi Manusia dan Tantangannya dalam Konteks Global" yang digelar oleh Prodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu (24/5).

“Penyerangan yang terus terjadi di wilayah konflik seperti Gaza menunjukkan bahwa HAM masih sangat rentan dilanggar. Kita butuh mekanisme internasional yang kuat untuk menjamin perlindungan dan akses keadilan bagi para korban,” ujar Anis di hadapan ratusan mahasiswa.

Dalam pemaparannya, Anis menjelaskan konsep tiga generasi HAM dalam hukum internasional. Generasi pertama mencakup hak sipil dan politik seperti kebebasan berpendapat, beragama, serta perlindungan dari penyiksaan. Ia mencontohkan masih adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. “Kalau seseorang tidak bisa berbicara, menulis opini, atau hidup tanpa rasa takut, maka hak-hak lainnya tidak akan bisa terwujud,” katanya.

Generasi kedua, lanjut Anis, berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, antara lain hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan standar hidup yang memadai. “Kalau generasi pertama bicara soal kebebasan, maka generasi kedua menekankan pada keadilan dan kesetaraan,” jelasnya.

Adapun generasi ketiga HAM bersifat kolektif, mencakup hak atas pembangunan, lingkungan sehat, dan perdamaian. Dalam konteks ini, ia menilai pelanggaran HAM di Gaza sangat kompleks karena menyentuh ketiga generasi sekaligus. “Bukan hanya hak sipil-politik yang dilanggar, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dihancurkan. Ini jelas pelanggaran HAM generasi ketiga,” tegas Anis.

Ia juga mengajak peserta untuk memahami sejarah panjang perkembangan HAM global yang tidak terjadi secara instan. Ia menyebut beberapa tonggak penting seperti Magna Carta (1215), American Bill of Rights (1791), hingga Universal Declaration of Human Rights (1948). Menurutnya, “Konsep HAM tidak turun dari langit. Ia lahir dari pengalaman penindasan dan perjuangan panjang.”

Anis menambahkan bahwa ada lima tahap dalam sejarah HAM: penindasan, penemuan, pengakuan, kodifikasi, dan penegakan. Namun ia mengingatkan, “Kodifikasi saja tidak cukup tanpa mekanisme penegakan yang nyata dan efektif.”

Ia juga menyoroti situasi di Indonesia. Meski telah meratifikasi sembilan instrumen HAM internasional utama, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan besar. Salah satu masalah adalah ketiadaan standar nasional implementasi HAM yang kuat serta lemahnya pengawasan. “Ratifikasi penting, tapi tanpa komitmen politik dan struktur hukum yang mendukung, itu hanya jadi dokumen mati,” tandasnya.

Anis menekankan bahwa prinsip-prinsip HAM telah tertanam dalam konstitusi Indonesia bahkan sebelum lahirnya Deklarasi Universal 1948, yang menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM bukanlah hal asing dalam sejarah bangsa. Namun realitas kekinian seperti diskriminasi, kekerasan berbasis gender, dan pembatasan kebebasan sipil menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah.

Isu lain yang diangkat adalah belum adanya kovenan internasional yang mengikat secara hukum terkait hak masyarakat adat. “Sampai hari ini, instrumen untuk masyarakat adat masih berupa deklarasi, belum menjadi perjanjian yang mengikat,” ujar Anis.

Menutup kuliahnya, Anis menegaskan bahwa HAM bukan konsep yang statis. “Karena manusia hidup dalam dinamika sosial yang terus berubah, maka HAM pun harus adaptif, inklusif, dan relevan dengan zaman,” pungkasnya.

Tags:
Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie