__temp__ __location__

Oleh: Rizky Ramli (Kader HMI Ternate)

Saya masih ingat betul, suatu sore di kedai kopi, seorang teman dengan santai bertanya, “Ngapain sih masih ikut HMI? Toh sekarang semua bisa dipelajari dari YouTube.” Ucapannya sederhana, tapi menusuk. Bukan karena ia meremehkan organisasi, melainkan karena ia mewakili suara mayoritas mahasiswa hari ini.

Hari ini, mahasiswa tak lagi bergantung pada organisasi untuk berkembang. Mereka bisa ikut pelatihan menulis via Tempo Institute, memperdalam skill desain grafis lewat Canva dan photoshop, atau belajar public speaking di pelatihan-pelatihan daring. Bahasa Inggris pun bisa diasah lewat kelas online dengan sertifikat resmi. Tanpa perlu duduk berjam-jam di forum diskusi yang membahas AD/ART atau ikut musyawarah yang tak jarang hanya diisi tarik ulur jabatan.

Organisasi, bagi banyak mahasiswa sekarang, tak lagi terasa sebagai ruang yang menjanjikan. Ia terlihat lamban, terlalu serius, dan kadang terkesan kaku. Banyak dari mereka merasa lebih produktif menghabiskan waktu membangun portofolio pribadi, membuka jasa freelance, atau bahkan menjadi konten kreator. Lalu, muncul pertanyaan yang pelan-pelan mengendap di pikiran banyak mahasiswa, kalau bisa jadi hebat tanpa organisasi, buat apa repot-repot masuk HMI?

Pertanyaan itu sah. Bahkan penting. Ia memaksa kita meninjau ulang apakah organisasi mahasiswa, khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), masih relevan di tengah perubahan zaman yang begitu cepat ini.

Tapi mari kita balik sebentar ke tahun 1947 saat HMI didirikan oleh Lafran Pane dan teman-temannya. HMI lahir pada tahun 1947 di tengah situasi kebangsaan yang genting, ketika Indonesia masih berjuang menegakkan eksistensinya sebagai negara merdeka. Umat Islam saat itu menghadapi tantangan besar, yakni keterbelakangan, ketertinggalan dalam pendidikan, dan keterbatasan peran dalam pembangunan bangsa. Di situlah HMI muncul sebagai ikhtiar kaderisasi intelektual Muslim untuk menjawab tantangan zaman.

Menariknya, situasi umat Islam dan kehidupan kampus hari ini tidak sepenuhnya berbeda dari situasi saat HMI dilahirkan. Di berbagai belahan dunia, umat Islam masih berkutat dalam konflik internal dan eksternal. Di Indonesia sendiri, kaum muda Muslim menghadapi arus deras sekularisme, hedonisme digital, dan nihilisme intelektual. Kampus yang dulu menjadi pusat gerakan justru kini dipenuhi oleh para influencer dadakan, konten kreator joget TikTok, dan mahasiswa yang lebih fasih membuat konten viral daripada berpikir kritis

Kampus semakin kehilangan fungsi intelektualnya. Mahasiswa lebih sering viral karena joget TikTok daripada karena tulisan atau pendapatnya yang bernas. Diskusi publik makin dangkal, media sosial jadi panggung utama, dan algoritma lebih menentukan isi kepala kita ketimbang buku atau kelas. Banyak mahasiswa Muslim kehilangan arah ideologis, tidak tahu membedakan antara kebebasan dan kebablasan. Sementara itu, umat Islam di berbagai belahan dunia masih terjebak dalam konflik, kebodohan sistemik, dan krisis kepemimpinan.

Situasi ini bukan sekadar mirip dengan zaman kelahiran HMI. Ia bahkan bisa jadi lebih kompleks. Jika dulu tantangannya adalah kolonialisme dan keterbelakangan, hari ini tantangannya adalah kemajuan yang kosong arah dan kebebasan tanpa tujuan. Maka, jika dilihat dari sisi itu, pertanyaan yang lebih tepat bukanlah "Ngapain ikut HMI?" melainkan "Mengapa justru kita tidak ikut HMI?"

Namun, kita harus jujur: HMI tidak bisa terus-menerus hidup dari romantisme sejarah. Ia harus menjadi jawaban yang nyata. HMI harus membuktikan bahwa kehadirannya memberi nilai lebih bukan hanya secara moral dan ideologis, tapi juga dalam pengembangan kapasitas, keterampilan, dan kesiapan hidup setelah kuliah.

HMI Sudah Punya Infrastruktur.

Di dalam sistem perkaderan HMI, terdapat lembaga-lembaga profesi yang bisa menjadi ladang pembinaan sekaligus pengembangan soft skill kader.

Terdapat Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) sebagai ruang latihan jurnalistik, literasi kritis, dan penulisan opini publik. Ada juga Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LBHMI) yang menjadi wahana advokasi, pelatihan hukum, dan pembentukan keberpihakan terhadap kaum tertindas. Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) dll.

Lembaga-lembaga ini, jika diaktifkan dengan visi zaman dan metode yang kontekstual, bisa menjadi jawaban konkrit pasca-wisuda. Mahasiswa tidak hanya keluar dari kampus dengan gelar, tapi dengan kemampuan praktis dan jaringan perjuangan.

Bayangkan jika sistem kaderisasi HMI mampu memastikan bahwa kader Sastra semester 2 sudah bisa menulis opini yang tajam dan diterbitkan media nasional. Kader Kedokteran semester 2 sudah ikut pelatihan sunat dan praktik kesehatan dasar. Kader Teknik bisa membuat proyek sederhana berbasis teknologi tepat guna. Anak Dakwah bisa khutbah dengan argumen kuat dan menyentuh. Anak Hukum bisa berdebat soal konstitusi di ruang publik. Semuanya bukan hanya tahu teori, tapi mampu berbuat lebih awal dari mahasiswa kebanyakan.

Saat itulah HMI akan kembali mendapat tempat di hati mahasiswa. Ia akan kembali menjadi ruang tempaan, bukan sekadar ruang pertemuan. Ia akan kembali membentuk arah, bukan sekadar struktur. Ia akan kembali melahirkan manusia-manusia beda kelas yang tidak hanya berpikir kritis, tapi juga berdaya secara nyata.

Kuncinya adalah keberanian untuk berubah. Untuk meninjau ulang sistem kaderisasi, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan zaman, dan memperluas makna "intelektual Muslim" bukan hanya sebagai gelar, tapi sebagai gaya hidup.

Menjadi kader HMI seharusnya bukan beban, tapi kebanggaan. Bukan karena seragamnya, tapi karena kemampuannya. Karena ia bisa menulis dengan baik, berbicara dengan jelas, bekerja dengan terampil, dan berpikir dengan jernih semua itu dibangun dari rumah yang disebut HMI.

Apakah HMI Masih Relevan?

Jawabannya tergantung, Jika HMI tetap seperti sekarang berkutat pada strukturalisme, berkutat pada agenda-agenda internal, dan lambat membaca perubahan zaman maka cepat atau lambat ia akan ditinggalkan.

Tapi jika HMI berani mengambil langkah besar untuk berubah, untuk menjawab kegelisahan mahasiswa hari ini, dan membuktikan bahwa ia bisa melahirkan manusia unggul sejak dini, maka justru HMI akan menjadi organisasi paling relevan di tengah lautan distraksi zaman ini. Karena pada akhirnya, mahasiswa tidak butuh banyak. Mereka hanya butuh ruang yang membuat mereka tumbuh dan berarti. Dan seharusnya, HMI bisa menjadi ruang itu.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies. Kebijakan Cookie