HARIAN NEGERI, Jakarta – Di era serba cepat, di mana tren fashion silih berganti dalam hitungan minggu, sebuah gerakan tandingan mulai mendapat perhatian slow fashion. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam memilih pakaian tidak hanya dari sisi gaya, tapi juga dari nilai keberlanjutan, etika, dan tanggung jawab sosial.
Slow fashion mengusung prinsip membeli lebih sedikit namun lebih bermakna: memilih pakaian berkualitas tinggi, mendukung brand lokal yang ramah lingkungan, dan menghargai proses serta para pekerja di baliknya.
“Industri tekstil adalah penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Dengan slow fashion, kita tidak hanya berpakaian, tapi juga membuat pernyataan: bahwa kita peduli pada lingkungan dan sesama manusia,” ujar Rinda Salmun, desainer dan pendiri brand Rinda Salmun Studio, yang konsisten mengusung konsep mode berkelanjutan sejak awal kariernya.
Isu besar lain yang disorot slow fashion adalah etika kerja. Banyak pekerja garmen di negara berkembang bekerja dalam kondisi tidak layak. Gerakan ini mendorong transparansi rantai pasokan dan keadilan upah, memastikan bahwa setiap potong pakaian yang kita kenakan tidak dibuat dari eksploitasi.
Namun, penerapan slow fashion di Indonesia masih menghadapi tantangan. Harga produk yang relatif lebih tinggi dan minimnya edukasi soal fesyen berkelanjutan menjadi hambatan utama. Meski begitu, masyarakat bisa mulai dari langkah kecil dengan mengecek label bahan, membeli di thrift shop, memilih brand lokal beretika, atau memperbaiki pakaian lama daripada membuangnya.
“Slow fashion bukan tren sementara. Ini adalah bentuk kepedulian terhadap bumi dan generasi mendatang. Kita bisa mulai dari lemari sendiri,” tambah Rinda.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami