Oleh: Syaefunnur Maszah
Rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memungkinkan perwira tinggi militer menduduki jabatan sipil secara bersamaan dengan tugas militer mereka telah menimbulkan perdebatan serius.
Artikel The Jakarta Post berjudul "Proposed TNI Law Revision May Harm Military’s Professionalism" yang terbit pada 6 Maret 2025 menyoroti kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap profesionalisme TNI serta potensi kembalinya pengaruh militer dalam urusan sipil.
Kekhawatiran ini tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia yang pernah mengalami dominasi militer dalam birokrasi sipil di era Orde Baru.
Keterlibatan militer dalam sektor sipil memang memiliki sisi positif dalam beberapa konteks. Di negara seperti Jerman, struktur pertahanan yang terintegrasi antara militer dan sipil telah terbukti efektif dalam menjaga keamanan nasional.
Kolaborasi semacam ini memungkinkan respons yang lebih cepat dan terkoordinasi terhadap ancaman eksternal maupun krisis internal. Dengan penyesuaian yang tepat, pendekatan ini dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam meningkatkan efektivitas pemerintahan dan ketahanan nasional.
Namun, pengalaman negara-negara maju juga menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam sektor sipil harus diatur dengan batasan yang jelas.
Demokrasi modern menuntut supremasi sipil sebagai prinsip utama dalam tata kelola negara. Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan bahwa sistem dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru menyebabkan kaburnya garis pemisah antara tugas militer dan peran sipil, yang pada akhirnya menimbulkan masalah loyalitas ganda dan ketidakstabilan demokrasi.
Revisi UU TNI yang memberikan peluang lebih besar bagi perwira militer untuk menduduki jabatan sipil dapat berisiko mengulang pola intervensi militer dalam pemerintahan.
Hal ini dapat mengancam prinsip profesionalisme TNI, yang idealnya harus fokus pada pertahanan negara tanpa terlibat dalam urusan politik atau birokrasi sipil.
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa netralitas militer dalam politik adalah salah satu elemen kunci dalam menjaga stabilitas demokrasi.
Untuk itu, jika revisi ini tetap dilaksanakan, perlu ada regulasi ketat yang mengatur batasan keterlibatan militer dalam jabatan sipil.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan meliputi jenis jabatan yang dapat diisi oleh prajurit aktif, durasi penugasan, serta mekanisme evaluasi berkala untuk memastikan bahwa keterlibatan militer tetap dalam koridor profesionalisme.
Selain itu, penting untuk menjamin bahwa perwira yang menduduki jabatan sipil tidak terlibat dalam politik praktis agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Dalam merancang kebijakan ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan mekanisme transisi yang memastikan bahwa perwira militer yang memasuki ranah sipil telah melalui proses pelatihan administrasi dan birokrasi yang memadai.
Tanpa persiapan yang matang, peralihan dari tugas militer ke jabatan sipil dapat menimbulkan inefisiensi dalam pemerintahan dan berpotensi merusak kredibilitas lembaga-lembaga negara.
Di sisi lain, pengawasan publik dan peran lembaga legislatif sangat penting dalam mengawal implementasi revisi ini.
Partisipasi masyarakat sipil, akademisi, serta pakar pertahanan harus dilibatkan dalam diskusi kebijakan agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi benar-benar berorientasi pada kepentingan nasional jangka panjang.
Transparansi dalam proses revisi juga menjadi kunci untuk menghindari kecurigaan bahwa perubahan ini bertujuan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Dengan pendekatan yang hati-hati dan regulasi yang jelas, Indonesia dapat menemukan keseimbangan antara meningkatkan efektivitas pemerintahan melalui keterlibatan militer dan menjaga profesionalisme TNI serta prinsip demokrasi.
Reformasi kebijakan yang dilakukan harus tetap menjunjung tinggi supremasi sipil dan memastikan bahwa militer tetap berada dalam ranah pertahanan, tanpa kembali ke peran dominan dalam pemerintahan seperti yang terjadi di masa lalu.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami