Oleh: Syaefunnur Maszah
Di balik unggahan prestasi anak muda di media sosial, tersimpan kisah-kisah sunyi tentang penolakan yang tak terhitung jumlahnya. Kita hidup di era di mana generasi muda dilatih untuk tampil sempurna, mengejar peluang tanpa lelah, namun juga ditinggalkan oleh sistem yang tidak menyediakan cukup ruang untuk semua orang. Ironisnya, semakin banyak anak muda yang merasa gagal, bukan karena mereka tidak berbakat, melainkan karena mereka tidak cukup "unik" untuk lolos dari saringan dunia yang makin kompetitif dan sempit.
Budaya penolakan ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat atau negara-negara maju lainnya. Di Indonesia, gejala ini juga makin terasa, terutama bagi para pelajar dan mahasiswa yang berlomba dalam sistem seleksi beasiswa, magang, atau program bergengsi. Kompetisi yang ketat tidak diimbangi dengan penguatan mental atau pembekalan tentang makna kegagalan. Banyak yang tumbang secara psikis, kehilangan motivasi, bahkan merasa tidak berharga ketika tidak diterima di satu kesempatan.
Fenomena ini diulas secara tajam dalam artikel opini David Brooks berjudul "We Are the Most Rejected Generation" yang diterbitkan di The New York Times pada 15 Mei 2025. Brooks menggambarkan bahwa generasi muda saat ini hidup dalam tekanan penolakan yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Ribuan pelamar bersaing untuk posisi-posisi yang sangat terbatas, baik dalam penerimaan kampus ternama maupun program magang elite seperti di Goldman Sachs. Akibatnya, penolakan menjadi pengalaman umum, bahkan norma baru.
Di Indonesia, tren ini bisa kita lihat pada popularitas program-program seperti LPDP, beasiswa luar negeri, atau rekrutmen BUMN yang dibanjiri ratusan ribu pelamar, namun hanya menerima sebagian kecil. Bahkan untuk sekadar magang di kementerian atau lembaga, mahasiswa sering kali harus bersaing secara brutal, mengirimkan puluhan hingga ratusan aplikasi tanpa kepastian. Yang lebih mengkhawatirkan, kegagalan ini jarang didiskusikan secara jujur di ruang publik. Budaya toxic positivity justru mendorong anak muda untuk selalu "tegar" tanpa ruang aman untuk kecewa.
Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya. Penolakan demi penolakan yang tidak dipahami secara sehat akan membentuk generasi yang cemas, perfeksionis, dan kehilangan rasa percaya diri. Mereka mungkin menjadi pekerja yang efisien, namun kering secara emosi. Mereka hebat dalam CV, tapi rapuh saat menghadapi penolakan dari dunia nyata. Kita menciptakan generasi yang secara teknis siap, namun secara mental rapuh.
Yang dibutuhkan bukan hanya peluang, tapi narasi yang lebih manusiawi. Pemerintah, media, dan institusi pendidikan perlu aktif menciptakan ruang bagi cerita-cerita kegagalan yang inspiratif, bukan sekadar kisah sukses yang memukau. Kita perlu mendefinisikan ulang sukses bukan sebagai soal diterima di tempat terbaik, tapi tentang bertumbuh dalam proses, bahkan ketika ditolak.
Kita juga perlu mereformasi sistem seleksi. Jangan hanya melihat IPK dan pengalaman formal, tapi pertimbangkan juga konteks sosial, keberanian mencoba, dan kualitas karakter. Banyak anak muda dari daerah tertinggal atau keluarga sederhana yang tak kalah cerdas, namun tidak punya akses atau kepercayaan diri untuk bersaing. Sistem seleksi yang lebih inklusif bisa mengurangi tekanan dan menumbuhkan harapan.
Para pemimpin opini, pendidik, dan tokoh publik juga harus memberi contoh. Alih-alih hanya memamerkan pencapaian, mereka sebaiknya juga berbagi cerita tentang proses panjang, penolakan yang mereka hadapi, dan bagaimana mereka bangkit. Ini penting agar generasi muda tahu bahwa ditolak itu manusiawi, bukan aib.
Jika kita ingin membangun generasi yang tangguh, maka kita harus membongkar mitos tentang kesempurnaan. Kita harus menjadikan kegagalan sebagai bagian dari pembelajaran, bukan akhir dari segalanya. Sebab, yang lebih penting dari diterima di mana-mana adalah kemampuan untuk terus melangkah, bahkan setelah berkali-kali ditolak.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami