HARIAN NEGERI, Yogyakarta - Ribuan buruh dari berbagai daerah memadati pusat kota Yogyakarta dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, Rabu (1/5). Di bawah payung Federasi Serikat Buruh Indonesia (SERBUK), sebanyak 24 serikat buruh tingkat pabrik turut ambil bagian dalam aksi yang digelar dengan damai namun penuh tuntutan mendesak.
Massa aksi yang datang dari berbagai wilayah seperti Kalimantan Barat, Jambi, Jawa Timur, Bali, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat, berkumpul bersama buruh dari DIY dan Jawa Tengah yang menjadi peserta terbanyak dalam aksi ini. Mereka membawa suara yang sama, yakni memperjuangkan hak-hak yang dirasa semakin terpinggirkan dalam sistem kerja modern yang dinilai tak berpihak kepada pekerja.
Koordinator lapangan dari SERBUK menegaskan bahwa terdapat enam tuntutan utama dalam aksi ini. Salah satunya adalah penghentian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang makin marak terjadi pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. “UU Cipta Kerja itu telah membuka kran PHK semena-mena. Banyak kawan kami jadi korban,” ujar sang koordinator.
Tak hanya soal PHK, para buruh juga menuntut pencabutan UU Cipta Kerja yang dianggap menjadi biang keladi ketidakpastian kerja. Mereka menilai kebijakan ini hanya menguntungkan pemodal dan melemahkan posisi tawar pekerja.
Isu lain yang tak kalah penting adalah desakan untuk menghapus sistem outsourcing. Menurut para buruh, sistem ini membuat mereka rentan, tidak memiliki kepastian kerja, dan kehilangan hak-hak dasar sebagai pekerja. “Kami hanya ingin kepastian kerja dan masa depan yang layak,” tegas perwakilan buruh.
Tuntutan keempat adalah dorongan agar aparat penegak hukum tidak tebang pilih dalam menindak kasus korupsi. Para buruh menyuarakan agar pejabat yang terlibat korupsi benar-benar diadili secara transparan. “Banyak pejabat mencuri uang rakyat, tapi masih bisa tertawa di televisi. Kami muak,” ungkap seorang peserta aksi.
Para buruh juga meminta jaminan kerja di tengah percepatan digitalisasi dan otomatisasi industri. Mereka khawatir kemajuan teknologi justru menjadi dalih untuk mengurangi tenaga kerja manusia. “Kami tidak anti teknologi, tapi negara harus memastikan kami tetap bisa hidup,” ujar seorang orator.
Tuntutan terakhir, namun paling mendasar, adalah soal upah layak. Khususnya di wilayah DIY, yang menurut para buruh memiliki upah minimum terendah secara nasional. “Upah buruh di Jogja bahkan tak cukup untuk menyewa kamar kos dan makan dua kali sehari,” keluh seorang buruh perempuan dalam orasinya.
Meski menyuarakan kritik keras, aksi ini berlangsung dengan tertib dan damai. Hal ini tidak lepas dari pengamanan yang dilakukan oleh Polda DIY bersama jajaran Polres. Kepala Bidang Humas Polda DIY, Kombes Pol Ihsan, S.I.K., CPHR., menyampaikan bahwa sebanyak 2.501 personel dikerahkan untuk memastikan aksi berjalan lancar.
“Kami fokuskan pengamanan di tiga titik utama: Tugu, Malioboro, dan Titik Nol. Kami juga siagakan personel di objek-objek vital sebagai langkah antisipatif,” jelas Ihsan.
Menanggapi isu tindakan represif, Ihsan menegaskan bahwa pengamanan di Yogyakarta dilakukan dengan pendekatan humanis dan persuasif sesuai arahan Kapolda DIY. “Kami tidak ingin ada tindakan yang mencederai kebebasan berekspresi,” tegasnya.
Para buruh pun mengapresiasi kondisi kondusif ini, meskipun mereka berharap suara-suara yang mereka bawa dari jalanan bisa didengar bukan hanya oleh aparat, tetapi juga oleh pemerintah pusat dan pembuat kebijakan. “Kami tidak butuh janji, kami butuh keadilan yang nyata,” tutup sang orator.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami