Oleh: Syaefunnur Maszah
Di tengah transformasi global yang penuh tantangan moral dan krisis institusional, umat Islam dituntut untuk tidak hanya menjadikan Islam sebagai doktrin personal, tetapi juga menghadirkannya secara nyata dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik. Proses ini menuntut apa yang dapat disebut sebagai Islamic value embodiment—yakni penjelmaan nilai-nilai Islam ke dalam struktur dan praksis sosial yang berkelanjutan.
Embodiment di sini tidak sekadar pemindahan ajaran ke dalam retorika politik atau simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Ia adalah upaya sistematis dan sadar untuk menginternalisasi prinsip-prinsip seperti keadilan, kesetaraan, amanah, dan welas asih ke dalam kebijakan publik, regulasi ekonomi, dan sistem pendidikan. Tanpa penjelmaan ini, Islam akan terus terpinggirkan sebagai wacana etis yang bersifat privat dan tidak transformatif secara sosial.
Filsuf Muslim klasik Al-Farabi dalam Al-Madinah al-Fadilah memberikan landasan konseptual bahwa masyarakat ideal adalah yang memadukan etika kenabian dengan sistem sosial yang adil. Nilai-nilai spiritual, menurutnya, harus menemukan tempatnya dalam institusi dan kebijakan yang menyentuh kehidupan publik. Dalam perspektif ini, agama bukanlah ruang eskapisme, melainkan fondasi moral masyarakat sipil.
Dalam ranah teori sosial modern, Emile Durkheim melalui konsep collective conscience menjelaskan bahwa tatanan sosial hanya akan stabil jika masyarakat memiliki konsensus nilai yang mendalam dan terinternalisasi. Jika nilai-nilai Islam seperti kejujuran dan keadilan menjadi bagian dari kesadaran kolektif, maka ia akan mewujud dalam tindakan sosial, struktur birokrasi, hingga sistem hukum yang adil dan berfungsi.
Tokoh Muslim kontemporer seperti Tariq Ramadan juga menekankan pentingnya menghadirkan nilai-nilai Islam ke dalam tata dunia modern. Dalam bukunya Western Muslims and the Future of Islam, Ramadan menolak Islam yang hanya menjadi identitas simbolik. Baginya, umat Islam harus mengambil peran aktif di ruang publik dengan membawa etika Islam yang universal, membumi, dan solutif bagi kemanusiaan secara luas.
Proses Islamic value embodiment sangat krusial dalam konteks Indonesia hari ini. Realitas korupsi, ketimpangan, dan krisis etika publik menjadi medan nyata bagi penerapan nilai-nilai Islam. Keadilan sosial, amanah dalam birokrasi, dan kepedulian terhadap yang lemah harus tidak hanya menjadi jargon khotbah, tetapi menjadi basis kebijakan publik dan pengambilan keputusan.
Tentu proses ini bukan jalan mulus. Diperlukan kecerdasan intelektual, kematangan spiritual, dan kemauan politik dari berbagai pihak. Para cendekiawan, pemimpin umat, birokrat, dan pengusaha Muslim harus duduk bersama, menyusun langkah-langkah integratif yang menempatkan nilai Islam sebagai kerangka berpikir dan bertindak dalam berbagai sektor kehidupan.
Lebih jauh, penjelmaan nilai Islam dalam tatanan sosial adalah bentuk tanggung jawab peradaban. Dunia modern membutuhkan alternatif nilai yang mampu menjawab krisis materialisme, individualisme, dan kekosongan makna. Islam, dengan prinsip keseimbangannya antara dunia dan akhirat, antara hak individu dan kepentingan kolektif, memiliki posisi strategis untuk menjadi sumber solusi etis bagi masa depan global.
Optimisme tetap menjadi fondasi dalam membangun agenda ini. Nilai-nilai Islam tidak pernah kehilangan relevansinya sepanjang ia diterjemahkan secara kontekstual dan progresif. Dengan pendekatan ilmiah dan komitmen pada substansi ajaran, umat Islam mampu menghadirkan etika profetik dalam institusi modern, menjembatani spiritualitas dengan kemajuan zaman.
Kini saatnya umat Islam tidak hanya mengenang kejayaan sejarah, tetapi membuktikan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi fondasi peradaban masa depan yang lebih adil, manusiawi, dan bermakna. Islamic value embodiment adalah jalan tengah antara spiritualitas dan transformasi sosial—bukan sekadar harapan, tetapi proyek historis yang mendesak untuk diwujudkan.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami