Oleh: Putri Suryani Samual (Mahasiswi Pascasarjana Kajian Terorisme SKSG UI)
Ketika Maluku kembali menjadi sorotan karena peningkatan ancaman radikalisme, sebuah tradisi tua yang nyaris terlupakan kini hadir menjadi harapan baru. Pela Gandong, tradisi persaudaraan antar desa yang melampaui batas agama dan etnis, kembali dihidupkan oleh generasi muda Maluku sebagai benteng sosial yang ampuh melawan penyebaran ideologi kekerasan.
Di tengah peningkatan kasus narapidana terorisme di Maluku yang terus naik dari tahun 2019 hingga 2024, menjadi 29 narapidana, Pela Gandong tampil bukan sekadar sebagai simbol, melainkan aksi nyata. Dalam situasi krisis seperti bencana, kematian, bahkan konflik sosial, desa-desa yang terikat dalam Pela Gandong tetap solid saling menjaga tanpa memandang latar belakang agama.
Dari wawancara mendalam dengan tokoh adat, pemuka agama, dan anak muda, terungkap jelas bahwa Pela Gandong bukan sekadar warisan sejarah yang usang, melainkan sistem sosial aktif yang memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman ideologi radikal. Tradisi ini secara alami membentuk benteng sosial dan budaya yang sulit ditembus oleh narasi kebencian.
"Pela Gandong itu ikatan persaudaraan yang tak bisa diputus. Ia dibangun bukan sekadar dengan sumpah adat, tapi dengan kasih yang melampaui batas-batas agama dan etnis," ujar Pendeta Leon Fatunlebit, tokoh agama yang telah lama mengabdi di Maluku.

Pela Gandong telah melampaui bentuk tradisionalnya, menjelma ke dalam ekspresi budaya kontemporer seperti musik hip-hop, seni mural, hingga film dokumenter yang diproduksi oleh generasi muda Maluku. Menurut Flantino Latupapua, seorang dosen sekaligus musisi asal Maluku, generasi muda kini giat menyebarkan nilai-nilai Pela Gandong melalui media sosial dengan pesan damai yang menginspirasi.
Namun, tantangan modernisasi juga hadir nyata. Urbanisasi, gaya hidup modern, dan kurangnya pewarisan nilai membuat sebagian generasi muda kurang memahami makna Pela Gandong. Seniman muda Eko Saputra Poceratu menggambarkan situasi ini sebagai "luka kecil yang perlahan tumbuh," karena budaya bisa pudar bukan karena ditolak, tetapi karena dilupakan.
Revitalisasi Pela Gandong dengan pendekatan sistematis melalui pendidikan formal, kolaborasi aktif para pemuka agama dan tokoh adat, serta media komunikasi budaya menjadi strategi kunci. Upaya ini menjadi penting dalam menjaga tradisi tersebut agar tetap relevan di tengah tantangan globalisasi dan krisis nilai lokal.
Melalui revitalisasi ini, Pela Gandong tidak hanya menjadi tradisi yang dipelajari dalam buku sejarah, tetapi juga napas kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Ia adalah benteng terakhir, yang dibangun dengan solidaritas dan cinta, untuk memastikan Maluku tetap menjadi tempat di mana perbedaan bukanlah ancaman, tetapi sebuah kekayaan yang terus dijaga dan dirayakan.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami