__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Di tengah gempuran kepemimpinan yang gemerlap dan sering kali hanya mementingkan pencitraan, hadirnya sosok pemimpin dengan karakter rendah hati dan integritas tinggi adalah oase langka yang justru sangat dibutuhkan oleh bangsa. Pemimpin dengan karakter rendah (low character leadership) bukan dalam arti moral rendah, tapi lebih kepada sikap rendah hati, sederhana, dan tidak silau kekuasaan memiliki daya pengaruh yang besar dalam membentuk budaya birokrasi yang bersih dan berorientasi pada pelayanan publik. Dalam konteks ini, rendah hati bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menular.

Teori “Servant Leadership” yang dipopulerkan oleh Robert K. Greenleaf menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan terlebih dahulu. Orientasi pada pelayanan kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan, menjadikan pemimpin mampu membangun trust dan akuntabilitas. Karakter ini mampu menciptakan ekosistem anti-korupsi karena orientasi kerja bukan pada akumulasi kekuasaan atau kekayaan, tetapi pada kebermanfaatan dan keteladanan. Dalam kondisi negara seperti Indonesia yang masih berjibaku dengan budaya korupsi struktural, pendekatan kepemimpinan rendah hati bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan.

Keteladanan adalah inti dari pencegahan korupsi. Ketika pemimpin hidup sederhana, menjauh dari gaya hidup mewah, dan tidak menjadikan kekuasaan sebagai privilege pribadi, ia mengirim pesan moral yang kuat kepada bawahannya. Seorang pemimpin dengan karakter rendah hati lebih mudah didisiplinkan oleh nurani, bukan sekadar aturan hukum. Dengan demikian, budaya integritas dapat tumbuh bukan karena rasa takut dihukum, melainkan karena ada rasa malu kepada pemimpin yang menjadi panutan.

Sikap low profile juga membawa implikasi besar dalam membangun karakter bangsa. Pemimpin yang tak larut dalam euforia kekuasaan, yang menolak kultus individu, dan yang tampil dalam kesederhanaan, mampu menurunkan ketegangan sosial dan memupuk kepercayaan publik. Dalam budaya politik yang sering dibumbui dengan polarisasi dan populisme, pemimpin seperti ini dapat menjadi perekat sosial. Ia hadir bukan untuk menciptakan pengikut yang tunduk, melainkan warga negara yang terlibat secara aktif dan kritis.

Salah satu contoh nyata adalah Mark Rutte, mantan Perdana Menteri Belanda, yang ketika resmi mengundurkan diri dari jabatannya pada 2 Juli 2024, meninggalkan kantor pusat pemerintahan di Den Haag hanya dengan mengayuh sepeda, tanpa pengawalan resmi. Ia mengenakan jas, melambaikan tangan kepada warga yang menyambutnya dengan santai dan senyum ramah. Rutte menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan baru setelah menjabat selama 14 tahun. Ia ditetapkan menjadi sekretaris jenderal NATO, aliansi politik dan militer negara-negara dari Eropa dan Amerika Utara. Ia seakan ingin menegaskan: jabatan adalah tugas, bukan kehormatan pribadi. Kepemimpinan semacam ini tidak hanya menyentuh hati rakyat, tetapi juga membangun kepercayaan terhadap demokrasi yang sehat.

Indonesia, dengan segala kompleksitas sosial dan politiknya, memiliki potensi besar untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan ini. Kita memiliki jejak sejarah pemimpin seperti H. Agus Salim yang hidup bersahaja namun berpengaruh luas. Kini saatnya regenerasi kepemimpinan diarahkan pada karakter serupa: rendah hati namun berwawasan tinggi, sederhana namun bernyali besar untuk melawan ketidakadilan dan kebusukan sistem.

Optimisme bukan utopia. Generasi muda Indonesia semakin terpapar pada figur-figur pemimpin dunia yang menjadi inspirasi karena karakter, bukan karena retorika. Di ruang-ruang sosial dan politik, benih harapan itu tumbuh dari aktivisme akar rumput, komunitas digital, hingga organisasi kepemudaan yang mulai menjadikan integritas dan pelayanan sebagai nilai utama. Ini merupakan sinyal positif bahwa Indonesia sedang bergerak, meskipun pelan, ke arah yang lebih sehat secara moral dan institusional.

Media dan masyarakat sipil juga punya peran penting dalam mengangkat figur-figur dengan karakter low profile. Bukan sekadar menyoroti tokoh karena popularitas, tapi karena keteladanan dan komitmen pada etika publik. Dalam dunia yang makin gaduh oleh citra, kita butuh suara yang menyoroti substansi. Dan itu hanya mungkin jika kita mulai menggeser ekspektasi publik dari “pemimpin kuat” ke “pemimpin berkarakter”.

Ketika bangsa ini mulai membudayakan penghormatan kepada kesederhanaan dan pelayanan, bukan pada kemewahan dan dominasi, maka arah transformasi sosial sudah mulai benar. Pemimpin dengan karakter rendah hati adalah katalis peradaban. Ia tidak menonjolkan diri, tapi dari ketidaktampakannya, justru ia menyalakan obor perubahan. Dan di situlah, letak sejatinya martabat sebuah bangsa.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *