__temp__ __location__

HARIAN NEGERI - Tangerang, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Tangerang menyampaikan klarifikasi atas tuduhan Pemerintah Kota Tangerang yang menyebut mereka menolak berdialog dalam aksi unjuk rasa pada momentum 100 hari kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Sachrudin–Maryono, yang digelar Senin, (2/6/2025) lalu.

Aksi tersebut digelar di halaman kantor Pemerintah Kota Tangerang sebagai bentuk evaluasi publik terhadap program-program yang dianggap tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Namun, pasca aksi, muncul sejumlah pemberitaan yang menyebut SEMMI menolak ajakan bertemu Wali Kota.

Koordinator Lapangan SEMMI Tangerang, Aditya Nugraha, menegaskan bahwa informasi yang disampaikan Asisten Daerah (Asda) I, Deni Koswara, tidak akurat dan menyesatkan. Ia menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak menolak dialog, justru mendesak agar Wali Kota keluar menemui langsung massa aksi.

“Kami datang untuk menyampaikan suara rakyat, bukan untuk diwakili atau disambut seremonial. Yang kami minta jelas: kehadiran Wali Kota di hadapan massa, bukan perwakilan birokrat. Pernyataan Asda I justru memutarbalikkan fakta,” ujar Aditya, yang juga menjabat Sekretaris Umum SEMMI Cabang Tangerang.

Menurutnya, tawaran masuknya perwakilan mahasiswa ke dalam ruangan bukanlah bentuk dialog yang terbuka dan transparan, melainkan upaya membatasi ruang publik untuk menyuarakan kritik.

“Dialog sejati berlangsung terbuka di ruang publik, bukan tertutup di balik meja. Jika memang pemerintah tidak merasa ada masalah, mengapa takut berhadapan langsung dengan mahasiswa?” tambahnya.

Aditya juga mengkritisi pola pendekatan Pemerintah Kota yang dianggap lebih fokus pada aspek formalitas dan pencitraan ketimbang merespons substansi tuntutan. Ia menyebut, segala bentuk “jamuan kehormatan” yang disiapkan oleh Pemkot adalah pengaburan terhadap nilai-nilai perjuangan mahasiswa.

“Kami tidak datang untuk dijamu, kami datang membawa aspirasi. Ketika gerakan disambut dengan jamuan, itu pertanda bahwa pemerintah gagal memahami esensi demokrasi,” tegasnya.

Dalam aksi tersebut, SEMMI mengangkat sejumlah isu terkait transparansi anggaran, tumpang tindih program prioritas, serta lemahnya realisasi janji politik selama 100 hari kepemimpinan Sachrudin–Maryono.

Ketua Umum SEMMI Tangerang, Indri Damayanthi, menilai respons Pemkot Tangerang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi. Ia menegaskan bahwa labelisasi “pembuka aib” terhadap aksi mahasiswa justru memperjelas bahwa kritik yang disampaikan selama ini memang menyasar persoalan nyata.

“Ketika pemerintah menyebut aksi kami membuka aib, itu artinya mereka menyadari ada kebobrokan yang kami sorot. Justru dengan itu, publik harus semakin sadar bahwa kerja Pemkot belum menyentuh akar persoalan,” ungkap Indri.

Indri menyoroti pula bahwa narasi keberhasilan 100 hari yang dikampanyekan pemerintah sejatinya hanya berisi pencitraan kosong. Ia menantang Pemkot untuk membuka data capaian kinerja secara detail dan terbuka kepada masyarakat.

“Kami tidak ingin masyarakat dibuai dengan laporan manis. Capaian 100 hari itu kebanyakan proyek seremonial yang tak menjawab kebutuhan rakyat. Bahkan, beberapa di antaranya kami nilai mengandung pemborosan anggaran,” kata Indri.

SEMMI menegaskan bahwa aksi mereka bukan sekadar simbol protes, melainkan bagian dari gerakan kontrol sosial untuk memastikan pemerintah tidak melenceng dari prinsip akuntabilitas publik.

“Kami bukan musuh pemerintah. Tapi kami akan selalu berdiri sebagai penjaga nurani publik. Jika kritik dianggap sebagai permusuhan, itu berarti demokrasi sedang mundur,” tutup Indri.

Dalam pernyataan akhirnya, SEMMI Cabang Tangerang meminta agar seluruh pihak, termasuk Pemkot Tangerang, tidak mengalihkan isu kepada hal-hal yang tidak relevan dengan tuntutan. Mereka juga menyerukan pentingnya keterbukaan data dan keberanian pemimpin untuk berdialog langsung dengan rakyat sebagai cerminan tanggung jawab kepemimpinan.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *