__temp__ __location__

Oleh : Citra Kumala Dewi (Ketua Bidang Immawati DPD IMM Sulawesi Utara)

“Tidak ada perempuan yang pantas dihantui rasa takut karena merasa dia tidak cukup baik.” Kutipan ini menjadi pembuka untuk menyoroti kenyataan getir yang terus menghantui perempuan Indonesia hari ini. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), tercatat lebih dari 30.000kasus kekerasan sepanjang tahun 2024. Mirisnya, lebih dari 80% korban adalah perempuan. Memasuki pertengahan tahun 2025, data sementara menunjukkan 8.536 kasus kekerasan, dengan 7.330 korban perempuan.

Angka-angka ini tidak hanya statistik. Ia adalah representasi nyata betapa sempitnya ruang aman bagi perempuan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: bagaimana sebenarnya pandangan para 'Tuan' saat berhadapan dengan perempuan? Apakah sedemikian rendahnya posisi perempuan dalam persepsi mereka?

Kekerasan terhadap perempuan tidak selalu muncul dalam bentuk fisik. Banyak kasus dimulai dari manipulasi emosional, sebuah bentuk kekerasan psikologis yang secara perlahan mengikis batas kendali perempuan atas dirinya. 

Beragam kasus tragis yang terjadi di Indonesia membuktikan pola yang serupa: 

  1. Pelecehan oleh guru besar Universitas Gajah Mada yang melecehkan lebih dari 15 mahasiswinya (Tempo.co)
  2. Dokter kandungan di Garut yang melecehkan pasiennya saat melakukan USG  (Tempo.co)
  3. Pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter PPDS Unpad di RSHS Bandung (Tempo.co)
  4. Pemerkosaan oleh orang terdekat seperti ayah tiri di Samarinda (Detik.com)
  5. Pencabulan yang dilakukan oleh ketua Yayasan terhadap 10 santriwati nya di Pondok Pesantren Lombok Barat (Metrotvnews.com). 

Diawali dengan kekuasaan dan manipulasi emosional, sebelum akhirnya menjadi tindakan fisik yang brutal, menjebak korban dalam ketergantungan emosional dan menghantui korban dengan perasaan takut yang tak berlandaskan. 

Manipulasi emosional terjadi di banyak ruang: rumah, sekolah, kantor, organisasi, bahkan institusi keagamaan. Pelaku memanfaatkan status sosial, citra baik, dan kedekatan emosional sebagai alat untuk mengendalikan korban. Alhasil, ruang yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru berubah menjadi sumber trauma.

Pertanyaannya, apakah hukuman yang ada cukup membuat jera? Sayangnya, hukum tidak selalu hadir sebagai pengingat yang efektif. Banyak pelaku tetap beroperasi dalam bayang-bayang tanpa rasa takut.

Society kita sejak lama menanamkan pemahaman bahwa perempuan harus menjaga diri, berpakaian sopan, dan bersikap anggun. Namun jarang sekali kita menekankan kepada laki-laki tentang pentingnya menghormati batasan dan menghargai perempuan sebagai individu yang setara. Stereotype gender mengakar kuat, dan perubahan yang ada belum cukup untuk membongkar ketimpangan ini dari akarnya.

Keberanian korban untuk bersuara adalah bentuk perjuangan luar biasa. Mereka yang tampil ke publik bukan tanpa risiko. Menanggung trauma, rasa takut, dan stigma social, menunjukkan bahwa ruang aman harus dihadirkan, bukan hanya dijanjikan.

Kita semua memiliki peran, kesadaran itu lahir bukan hanya dari belas kasih, tapi dari solidaritas dan paham bahwa keadilan adalah hak semua manusia, tanpa memandang gender.

Terlepas dari bagaimana kacamata para Tuan dalam memvisualisasikan perempuan, itu adalah bagian yang tidak bisa dikontrol oleh orang lain, tapi satu hal yang harus ditegaskan: tidak ada pembenaran atas kekerasan seksual yang dibungkus dengan manipulasi emosional. Ini adalah kejahatan yang harus dilawan dengan tegas, bersama-sama.

Agung Gumelar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *