Oleh: Lukman Nul Hakim
Indonesia tengah digemparkan dengan adanya 8 tuntutan yang dilayangkan oleh Purnawirawan TNI kepada Presiden Prabowo Subianto pada 17 April 2025 silam. Di antara tuntutan tersebut terdapat salah satu yang menarik perhatian publik, terkait Pemakzulan Wakil Presiden Indonesia yakni Gibran Rakabuming Raka. Mantan Komandan Komando Pasukan Khusus, Sunarko menyatakan bahwa tuntutan pemakzulan tersebut dilandasi dengan beberapa pertimbangan, seperti dugaan pelanggaran terhadap hukum acara di Mahkamah Konstitusi dan kekuasaan kehakiman dalam proses pencalonannya pada pemilihan presiden 2024.
Selain itu, munculnya akun media sosial bernama Fufufafa yang diduga milik Gibran dan telah mengunggah konten dengan sentimen negatif kepada Prabowo menjelang pilpres 2014 dan 2019, serta tak sejalannya Gibran dengan asta cita pemerintahan Prabowo karena diduga kerap bermanuver untuk kepentingan politik pribadinya. Namun, sangat disayangkan bahwa suara yang digaungkan hanyalah sebuah desakan yang tidak memiliki landasan serta bukti kuat yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga membuat tuntutan ini tidak memiliki kekuatan yang berarti di hadapan konstitusi.
Secara konstitusional, pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah termaktub dalam Pasal 7A UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya.
Selanjutnya, Pasal 7B UUD 1945 mengatur bahwa mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR. Keputusan MPR atas usul pemberhentian harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Oleh karena itu, sejalan dengan hal ini, timbul pertanyaan besar terkait kebenaran dan kelayakan untuk dilaksanakannya pemakzulan dari tuntutan tersebut.
Pertama, pada hakikatnya, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 telah mengakomodir bahwa tuntutan untuk Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden sah untuk disampaikan karena ini merupakan bentuk wujud nyata dari Kedaulatan rakyat dalam memberikan aspirasinya. Namun, Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 melanjutkan dan mengatur bahwa tuntutan harus sesuai dengan yang telah diatur konstitusi karena Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Tuntutan akan pemakzulan Wakil Presiden oleh Purnawirawan TNI, sejatinya telah gagal untuk memahami kedua konsep mendasar ini. Faktanya, semua alasan dari tuntutan yang disampaikan hanya berbentuk dugaan yang tidak berdasar dan masih dipertanyakan akan kebenarannya.
Selain itu, alasan tuntutan juga tidak memenuhi beberapa syarat dilakukannya pemakzulan pada Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya. Hal ini berpotensi menimbulkan stigma bahwa tuntutan akan pemakzulan tersebut bermotifkan kepentingan dibaliknya, meskipun tidak menutup kemungkinan juga bahwa langkah tersebut merupakan wujud dari keinginan untuk menuntut keadilan.
Kedua, tuntutan ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi mengenai mekanisme dari prosedur pemakzulan yang seharusnya. Berdasarkan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7A. Alih-alih mengikuti alur konstitusi, purnawirawan TNI justru melayangkan dan menyampaikan tuntutannya kepada Presiden Prabowo Subianto yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan mekanisme dilakukannya pemakzulan tersebut.
Meski, Presiden Prabowo mengatakan melalui Wiranto yang merupakan Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan akan mempelajari tuntutannya, tetapi sebagai pejabat Eksekutif, hal tersebut tidak ada keterkaitannya dengan mekanisme yang sebagaimana mestinya, sehingga tuntutan yang disampaikan tidak memiliki daya guna untuk dilaksanakannya pemakzulan. Namun, jika dilihat dari faktor politisnya, kita ketahui bersama bahwa hampir seluruh anggota DPR di dominasi oleh para pendukung dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Oleh karena itu, untuk dilaksanakannya pemakzulan melalui prosedur konstitusi ini, tentu menimbulkan tantangan tersendiri untuk para purnawirawan TNI.
Secara Historis, Indonesia pernah melangsungkan pemakzulan tanpa melalui mekanisme oleh Konstitusi pada masa Orde Baru. Pada masa itu, Presiden Soeharto mengundurkan dirinya sebagai presiden atas desakan dan tekanan para demonstran yang luas akibat krisis ekonomi dan politik yang terjadi. Dalam konteks pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, mekanisme serupa dapat diterapkan. Namun, banyak pertimbangan yang harus dianalisis sebelumnya. Misalnya, urgensi seperti apa yang menyebabkan hal tersebut harus dilakukan, kesalahan krusial yang dilakukan harus dapat dibuktikan kebenarannya, bagaimana mekanisme dari pemilihan Wakil Presiden yang baru serta bagaimana menjamin bahwa Wakil Presiden yang terpilih menggantikan Gibran Rakabuming Raka akan lebih baik untuk kedepannya.
Masa Orde Baru merupakan sejarah kelam yang pernah terjadi dalam tatanan pemerintahan. Gebrakan untuk memaksa pemunduran Presiden Soeharto kala itu adalah urgensi mendesak yang harus dilakukan. Oleh karena itu, mengawal dan mengawasi segala tindakan dan keputusan yang ingin dilakukan merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara.
Bijak dalam mengkritisi suatu tuntutan yang ingin dilakukan adalah sebuah keharusan. Jangan sampai kita terpecah belah oleh tuntutan yang bersifat kepentingan, tanpa melihat bahwa hal tersebut akan membuat negara ini jauh lebih baik atau justru mengantarkan kita pada kehancuran.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami