__temp__ __location__
`

HARIAN NEGERI, Jakarta - Farida Ratu Wargadalem dikukuhkan menjadi guru besar Ilmu Sejarah Lokal Universitas Sriwijaya pada Jum'at (21/2/2025).

Dalam pidato pengukuhannya, wanita kelahiran Cempaka (OKU), 27 September 1960, menyampaikan mengenai asal mula Pempek.

Dijelaskan Farida, riset serius tentang pempek mulai dilakukannya pada tahun 2020, dengan niat meneliti “keampuhan” makanan pempek sebagai makanan yang sangat diminati oleh masyarakat Palembang, dalam membawa nama makanan tradisional Palembang menasional dan mendunia.

"Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Saya sitirkan ucapan anggota band terkenal asal Palembang “Armada Band” dalam salah satu pernyataan mereka “ngantuk nian nak tidok, melek lagi jingok pempek”. Padahal mereka sudah bertahun-tahun meninggalkan kota tercinta Palembang.

Ini merupakan segelintir bukti bahwa pempek memang makanan yang tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas," ujar ibu tiga anak yang juga adalah dosen FKIP Sejarah Unsri.

Menurut Farida, pempek sebagai makanan tradisional, tentunya menekankan transmisi pengetahuan generasi, dan penggunaan bahan baku lokal.

Produk lokal yang dilestarikan oleh penikmatnya, mampu menjadi alternatif dalam menjawab tantangan berbagai produk pangan olahan luar negeri yang sedang hype.

Makanan ini telah menjadi bagian penting dari identitas budaya, sejarah, geografis, dan gaya hidup masyarakat Palembang. Makanan ini telah menunjukkan “jati dirinya” sebagai makanan tradisional yang terus eksis hingga kini.

Pempek memiliki nilai keunikan yang terkandung di dalamnya, dan lebih disukai konsumen dibandingkan dengan makanan konvensional.

Wilayah Sumsel dilalui oleh sungai-sungai besar yang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan.

Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai sumber kehidupan, dan memiliki peran sentral dalam membentuk sejarah, dan peradaban manusia, berfungsi sebagai jalur penyebaran perdagangan, dan budaya antar wilayah.

Salah satu bukti pentingnya adalah perkembangan kuliner tradisional yang umumnya berbahan dasar ikan.

Ikan-ikan tersebut diolah dengan bahan tepung yang diperoleh dari enau dan kelapa, sehingga menghasilkan makanan olahan, diantaranya pempek, kerupuk, kemplang, dan lainnya.

Studi tentang pempek Palembang dapat membuka pandangan baru tentang bagaimana sungai, dan sumber daya alamnya berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, membentuk identitas kultural, dan mempengaruhi dinamika sosial ekonomi.

Dalam sejarah perkembangannya, pempek awalnya bernama kelesan. Kelesan sejak awal sudah termasuk makanan tradisional yang disajikan di rumah-rumah adat Palembang.

Jika dirunut sejarahnya, sumber tertua tentang kekayaan alam Sriwijaya, tampak pada salah satu prasasti Kedatuan Sriwijaya (abad 7-12), yaitu prasasti Talang Tuo tahun 684 Masehi di Palembang.

Disebutkan Farida, bahwa Datu (raja) Sriwijaya menghadiahkan Taman Criketra kepada rakyatnya, di taman itu tumbuh pohon enau, sagu, kelapa, pinang, dan lainnya.

Enau, sagu dan kelapa merupakan bahan baku untuk membuat pempek dan cuko.

Hal ini ditopang oleh hasil riset yang menunjukkan bahwa di kawasan tsb pernah ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, diantaranya famili Palmae, Graminae dan Annonaseae.

Perkembangan kuliner Palembang dapat ditelusuri sejak masa Kesultanan Palembang.

Keraton menjadi pionir dalam mengembangkan beragam kuliner tradisional. Dari keraton bergerak ke bawah, sehingga masyarakat biasa dapat menikmatinya.

Pada masa itu makanan tradisional yang terbuat dari ikan dan sagu ini berkembang. Palembang yang menjadi pusat ekonomi dan budaya, menjadi pusat pengembangan dan penjualan kelesan.

Bukti lain tersebarnya kelesan dikarenakan adanya budaya “beperau” orang-orang Kayu Agung yang menjelajahi sungai-sungai di Sumatera Selatan dengan perahu kajang, sambil menjual produk gerabah.

Mereka dihadapkan pada kebutuhan makanan yang dapat diawetkan, dengan bahan baku yang mudah didapat (ikan dan sagu), maka berkembanglah budaya mencampur ikan dan sagu menjadi kelesan.

Sambil berdagang, mereka juga berinteraksi aktif, dan transfer ilmu membuat kelesan pada penduduk lokal.

Salah satu buktinya, di daerah Komering nama kelesan berubah dialegnya menjadi kolosan.

Perubahan nama dari kelesan menjadi pempek, justru menandakan bahwa kuliner ini makin berkembang jangkauan pemasarannya.

"Kelesan yang pada mulanya hanya dinikmati oleh rumah-rumah keluarga asli Palembang, bergerak meninggalkan sekat-sekat itu karena masyarakat sekitar membutuhkannya.

Para parempuan Palembang memproduksi secara terbatas, dan dijual di bawah rumah-rumah panggung mereka," kata Prof Farida yang menuntaskan Strata 3 di Universitas Indonesia.

Respon positif dari masyarakat membuat usaha rumah tangga itu menjadi bisnis yang makin berkembang.

Untuk memperluas jangkauannya, para pembuat pempek membutuhkan orang yang bisa menjadi “penjaja”.

Pilihan jatuh pada orang Tionghoa, Awal abad 20 penjualan pempek semakin berkembang, apalagi sejak adanya jalan-jalan raya yang dibangun oleh Belanda.

Penjualnya biasa disebut dengan nama "Apek", sehingga orang-orang yang akan membeli kelesan menyebutnya dengan nama "Pek, empek".

"Kebiasaan memanggil "pek ... mpek" membuat nama kelesan berubah menjadi "Pempek/empek-empek," kata Prof Farida.

Sebagai makanan favorit, pempek seolah tak terpisahkan dari keseharian penduduk Palembang.

Dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir pempek makin dikenal. Semua disebabkan besarnya dukungan masyarakat terhadap makanan ini.

Salah satu buktinya adalah bermunculannya para pedagang pempek diberbagai kota di Indonesia. Contohnya dari Medan--Papua.

Uniknya, demi menjaga cita rasa, khususnya cuko, pemilik usaha umumnya tetap menggunakan bahan baku dari Palembang.

Para pengusaha pempek berkomitmen untuk terus menjaga rasa dan kualitasnya. Even-even Nasional dan Internasional (PON 2004, Sea Games 2011, IMT sejak tahun 2012, Islamic Solidarity Games 2013, Asean University 2014, 25th, Triathlon Asia 2017, dan Asian Games 2018).

Pada berbagai kegiatan besar tersebut, pempek menjadi favorit untuk disantap, dan dijadikan oleh-oleh.

Akibatnya, terjadi lonjakan penjualan pempek yang signifikan. Hal ini mendorong orang-orang semakin berminat terjun di bisnis ini.

"Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa pempek telah menjadi “identitas” yang mencerminkan identitas daerah ini yang sudah mengakar sejak lama," jelas Farida.

Iklan Kesbangpol PBD
Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *