__temp__ __location__

Kasus dugaan plagiarisme dalam disertasi Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala BKPM, telah memicu perdebatan sengit di kalangan publik dan akademisi. Tidak hanya sekadar soal kebohongan ilmiah, kasus ini juga menyangkut integritas akademik dan etika yang harus dijunjung tinggi. Menariknya, Rocky Gerung, seorang intelektual yang dikenal kritis, dalam salah satu seminar menyatakan, "Bahlil seharusnya di-DO (dikeluarkan) dari Universitas Indonesia (UI), bukan malah disuruh untuk melakukan revisi atas disertasi yang terbukti mengandung unsur plagiarisme."

Pendapat Rocky Gerung tersebut menyentil sebagian besar orang yang merasa bahwa tindakan memaafkan atau memberi kesempatan untuk revisi adalah langkah yang terlalu ringan. Apakah kita sebagai kalangan akademisi akan menerima begitu saja kenyataan bahwa seorang pejabat publik, yang memiliki pengaruh besar dalam kebijakan nasional, dapat dengan mudah terlibat dalam pelanggaran akademik serius seperti plagiarisme? Tentu saja, integritas akademik bukanlah hal yang bisa dianggap remeh.

Plagiarisme dalam dunia akademik bukan hanya soal menyalin karya orang lain tanpa mencantumkan sumber. Lebih dari itu, ia mencerminkan ketidakmampuan seseorang untuk berinovasi, mengembangkan pemikiran sendiri, serta membangun argumen yang sah secara ilmiah. Jika seorang menteri, yang notabene memiliki tanggung jawab besar terhadap pembangunan nasional, terlibat dalam plagiarisme, ini mengundang pertanyaan serius mengenai kualitas kepemimpinan dan pemikirannya.

Kritik Rocky Gerung terhadap keputusan untuk hanya meminta revisi memang memiliki landasan yang kuat. Menurutnya, universitas dan lembaga pendidikan seharusnya memiliki standar yang ketat dalam menilai integritas akademik. Jika dugaan plagiarisme terbukti, seharusnya ada konsekuensi yang lebih tegas, seperti pencabutan gelar atau bahkan pengeluaran dari universitas. "Ini bukan hanya soal memberi contoh kepada kalangan akademisi, tetapi juga menjaga kredibilitas lembaga pendidikan itu sendiri," tegasnya.

Pada lain sisi, memberikan kesempatan untuk revisi dapat dimaknai sebagai langkah untuk memberikan ruang bagi perbaikan. Namun, apakah ini adil bagi mereka yang telah berjuang keras untuk menyelesaikan karya ilmiah mereka dengan integritas penuh, tanpa menempuh jalan pintas? Dalam konteks ini, Rocky Gerung seolah mengingatkan kita akan pentingnya menegakkan keadilan dan konsistensi dalam dunia akademik.

Pada akhirnya, kasus disertasi Bahlil Lahadalia adalah cermin dari masalah yang lebih besar dalam dunia akademik dan pemerintahan. Plagiarisme bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan sistem yang terkadang tidak cukup tegas dalam mengatur etika dan integritas. Apakah kita ingin terus mentolerir perilaku semacam ini, ataukah kita siap untuk menegakkan standar yang lebih tinggi bagi mereka yang memegang jabatan publik? Inilah saatnya bagi kita untuk benar-benar berpikir tentang bagaimana menghargai dan menjaga integritas akademik di setiap lini kehidupan kita.

Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *