__temp__ __location__


HARIAN NEGERI, Jakarta — Sengkarut jabatan ganda di kalangan wakil menteri kembali mencuat ke ranah konstitusional. Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang diajukan Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies, Juhaidy Rizaldy Roringkon, sebagaimana dilansir dalam antaranews.com.

Dalam permohonannya, Juhaidy menyoroti celah hukum yang dinilainya mengancam prinsip kesetaraan dan etika jabatan publik. Pasalnya, aturan yang melarang menteri merangkap jabatan tidak diberlakukan bagi wakil menteri. Kondisi ini, menurut Juhaidy, menciptakan ketimpangan dan membuka peluang terjadinya konflik kepentingan di lingkungan pemerintahan.

“Ketika menteri dilarang rangkap jabatan, tetapi wakil menteri justru bebas merangkap sebagai komisaris atau pengawas BUMN, ini menimbulkan ketidakadilan struktural. Wakil menteri tetap bagian dari eksekutif dan berada di lingkar kekuasaan. Maka seharusnya standar etikanya pun sama,” kata Juhaidy dalam keterangannya yang dikutip dari berkas permohonan di Jakarta, Rabu.

Ia juga menegaskan bahwa tanpa pembatasan eksplisit, posisi strategis wakil menteri berpotensi digunakan untuk mengamankan posisi di perusahaan-perusahaan negara, menyingkirkan pihak-pihak yang tidak punya kedekatan politik.

Saat ini, Juhaidy mencatat sedikitnya ada enam wakil menteri yang memegang posisi ganda sebagai komisaris atau dewan pengawas BUMN. Ia berpendapat, hal tersebut bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari benturan kepentingan.

Permohonan ini bukan tanpa dasar. Juhaidy mengacu pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menggarisbawahi bahwa kedudukan wakil menteri tidak bisa dipisahkan dari fungsi kementerian. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut pengangkatan wamen merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana halnya menteri, sehingga asas tanggung jawab dan larangan rangkap jabatan seharusnya juga melekat pada wamen.

Namun, dalam putusan saat itu, MK tidak melanjutkan perkara karena pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Kini, Juhaidy kembali membawa isu tersebut dalam permohonan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 dengan dasar bahwa norma itu perlu ditegaskan dalam undang-undang agar memiliki daya ikat.

Ia meminta agar frasa “wakil menteri” dicantumkan dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara. Dengan demikian, bunyi pasal akan menjadi: “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”

Sidang perdana perkara ini telah digelar pada Selasa (22/4) di Gedung MK, Jakarta. Pemohon diberi waktu dua pekan untuk melengkapi atau memperbaiki permohonan sebelum Mahkamah memutuskan kelanjutannya.

Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *