__temp__ __location__
`

Oleh : Syaefunnur Maszah

Peluncuran Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai dana abadi baru Indonesia menggaris bawahi pentingnya peran BUMN dalam memajukan ekonomi nasional.

Dengan dana awal sebesar 20 miliar dolar AS dan target aset hingga 900 miliar dolar AS, Danantara dirancang untuk menjadi pendorong investasi di sektor-sektor strategis seperti hilirisasi nikel, kecerdasan buatan, petrokimia, dan energi terbarukan. Pemerintah menegaskan bahwa dana ini akan menjadi pemicu bagi pertumbuhan ekonomi.

Namun, ketergantungan yang besar pada BUMN memunculkan kekhawatiran, terutama terkait dengan riwayat buruk perusahaan negara dalam pengelolaan keuangan, transparansi, dan efektivitas operasional.

Artikel berjudul "Favoritism for Danantara" yang dimuat di Editorial The Jakarta Post, 4 Maret 2025, menggarisbawahi potensi risiko akibat dominasi BUMN dalam Danantara.

Meski Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya peran negara yang bersifat komplementer, struktur dana ini malah memperlihatkan penguatan peran BUMN yang bisa menekan sektor swasta. Artikel tersebut juga memperingatkan bahwa pemerintah berisiko membuat regulasi yang menguntungkan Danantara dan membatasi ruang bagi investor independen.

Kekhawatiran ini semakin beralasan jika melihat rekam jejak BUMN yang kerap terjerat dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Korupsi dalam tubuh BUMN sudah bukan sekadar dugaan, melainkan fakta yang terungkap berulang kali. Salah satu contoh terbaru adalah skandal pengadaan minyak mentah dan BBM yang melibatkan anak usaha Pertamina, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 193,7 triliun.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun BUMN memiliki kapasitas finansial yang besar, risiko pemborosan anggaran dan inefisiensi tetap menjadi ancaman.

Tanpa adanya reformasi tata kelola yang mendalam, Danantara berpotensi menjadi alat bagi segelintir pihak untuk memperkaya diri.

Sebagai presiden yang baru lima bulan menjabat, Prabowo menghadapi tantangan besar dalam mengatur sistem ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.

Kebijakan ekonomi era Jokowi yang sangat bergantung pada ekspansi BUMN membuat Prabowo berada dalam dilema: apakah ia akan melanjutkan kebijakan ini atau berani melakukan perubahan dengan memberi lebih banyak ruang bagi sektor swasta? Di satu sisi, Danantara memberikan kontrol lebih besar bagi pemerintah atas perekonomian, tetapi di sisi lain, tanpa pengawasan yang ketat, kebijakan ini dapat berisiko memperburuk kondisi investasi dan kepercayaan pasar.

Pelajaran penting yang dapat diambil dari situasi ini adalah bahwa keberhasilan Danantara tidak hanya bergantung pada besar dana yang dihimpun, tetapi juga pada bagaimana dana tersebut dikelola.

Jika Prabowo ingin menciptakan model investasi yang berkelanjutan, ia harus memastikan bahwa transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip utama dalam operasional Danantara.

Reformasi birokrasi di BUMN, peningkatan mekanisme pengawasan independen, dan keterlibatan sektor swasta yang lebih seimbang harus menjadi prioritas dalam kebijakan ekonominya.

Membangun kepercayaan terhadap investasi negara tidak bisa hanya mengandalkan retorika nasionalisme ekonomi.

Pemerintah harus membuktikan bahwa Danantara bukan hanya alat politik, tetapi benar-benar berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Jika reformasi tata kelola BUMN tidak dilakukan segera, Danantara berisiko menjadi proyek ambisius yang gagal karena masalah sistemik yang sudah lama ada. Keberhasilan Prabowo dalam mengelola Danantara akan menjadi indikator utama kepemimpinannya.

Jika ia mampu membuktikan bahwa strategi ini efektif tanpa mengulang kesalahan masa lalu, maka ia bisa memperkuat kredibilitas sebagai pemimpin yang mampu menyeimbangkan peran negara dan sektor swasta.

Namun, jika praktik favoritisme dan korupsi terus berlanjut, Danantara bisa menjadi contoh terbaru dari kegagalan besar akibat buruknya tata kelola.

Iklan Kesbangpol PBD
Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *