__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Dalam riuh rendah dinamika politik modern, etika politik sering kali terdengar sebagai wacana yang indah namun jauh dari kenyataan. Padahal, dalam sejarah pemikiran politik, etika telah menjadi pondasi utama bagi kehidupan bernegara yang berkeadaban. Aristoteles, filsuf Yunani kuno, menyatakan bahwa politik adalah seni mulia untuk mencapai kebaikan bersama (summum bonum). Maka ketika politik lepas dari etika, ia tak ubahnya alat kekuasaan semata yang rawan disalahgunakan. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran kolektif bahwa etika bukan sekadar norma tambahan, melainkan inti dari praktik politik itu sendiri.

Etika politik menyangkut nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penerapannya dalam kehidupan bernegara dapat membentuk tatanan politik yang adil dan transparan, mendorong keterbukaan, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan. Sebaliknya, absennya etika politik dapat membuka ruang bagi praktik korupsi, manipulasi kekuasaan, serta pembungkaman kritik dan oposisi—gejala-gejala yang merusak demokrasi dari dalam.

Negara yang mengedepankan etika politik cenderung membangun sistem pemerintahan yang inklusif dan partisipatif. Konsep good governance, yang diusung oleh para teoritikus politik kontemporer seperti David Beetham, menekankan pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan supremasi hukum sebagai ciri dari pemerintahan yang baik. Dalam kerangka ini, etika politik menjadi ruh dari tata kelola pemerintahan yang sehat. Tanpa nilai moral yang kuat, good governance hanya akan menjadi jargon administratif tanpa makna substantif.

Implikasi positif dari penerapan etika politik sangat luas. Ia dapat menciptakan iklim politik yang stabil, mengurangi konflik horizontal, serta menumbuhkan kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan publik, bukan akumulasi kekuasaan. Namun, etika politik yang dipaksakan atau digunakan secara selektif juga bisa menjadi alat untuk membungkam perbedaan pendapat. Ini menjadi sisi negatifnya—ketika moralitas digunakan untuk menyeragamkan pandangan, bukan untuk menjunjung keberagaman nilai dalam masyarakat demokratis.

Sebagai ilustrasi, Skandinavia—khususnya Swedia dan Norwegia—menjadi contoh negara yang berhasil membangun budaya politik yang sangat menjunjung etika. Kepemimpinan yang transparan, partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan, serta rendahnya tingkat korupsi menunjukkan bahwa etika politik bukan utopia. Sebaliknya, situasi di negara-negara seperti Venezuela, yang dilanda krisis legitimasi dan korupsi elite, memperlihatkan bagaimana keruntuhan etika dalam politik bisa menjatuhkan sendi-sendi negara secara sistemik dan berkepanjangan.

Penerapan etika politik juga berkaitan erat dengan penguatan institusi. Strategi yang perlu ditekankan antara lain adalah pendidikan politik berbasis nilai, reformasi partai politik agar lebih demokratis dan meritokratis, serta penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih. Mengutip teori keadilan John Rawls, tatanan politik yang baik adalah yang memprioritaskan kesejahteraan mereka yang paling lemah. Prinsip ini hanya bisa diwujudkan dalam kerangka etika politik yang konsisten.

Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat etika politik dalam kehidupan bernegaranya. Reformasi pasca-Orde Baru telah membuka jalan bagi kebebasan berpendapat, pemilu langsung, dan pengawasan publik yang lebih kuat. Namun, tantangan besar seperti politik uang, dinasti politik, dan kooptasi lembaga negara masih menjadi batu sandungan. Momentum pemilu dan regenerasi elite politik harus dijadikan ruang evaluasi untuk memilih pemimpin yang menjunjung etika, bukan sekadar piawai dalam pencitraan.

Optimisme perlu dipelihara bahwa bangsa ini mampu memperbaiki etika politiknya. Generasi muda semakin sadar akan pentingnya integritas, dan ruang digital memungkinkan kontrol publik yang lebih luas. Kekuatan masyarakat sipil juga semakin menguat. Dengan komitmen kolektif antara rakyat, elite, dan institusi pendidikan, Indonesia bukan hanya bisa menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitas moral dalam politiknya.

Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, etika politik bukanlah pilihan tambahan, tetapi sebuah keniscayaan. Tanpa etika, politik hanya akan menjadi permainan kuasa yang mengikis martabat negara. Sebaliknya, dengan etika, politik bisa menjadi jalan menuju keadilan, kesejahteraan, dan keberadaban. Dan di titik inilah harapan kita sebagai bangsa—untuk menjadi negara besar, bukan hanya karena jumlah penduduk atau luas wilayah, tetapi karena keluhuran moral dalam mengelola kekuasaan.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *