__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali mengalami goncangan besar dengan diberlakukannya trading halt pada pukul 11:19:31 WIB, 18 Maret 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas 5,02% ke level 6.146, menandakan tekanan besar yang dihadapi pasar modal nasional. Sentimen negatif global dan domestik menjadi pemicu utama, mulai dari meningkatnya ketegangan geopolitik hingga melemahnya kondisi fiskal dalam negeri (detikFinance 18/3).

Di kancah internasional, konflik Rusia yang semakin berkepanjangan serta kebijakan tarif balasan AS terhadap Uni Eropa telah memicu ketidakpastian di pasar keuangan global. Investor cenderung menghindari risiko di negara berkembang seperti Indonesia dan lebih memilih instrumen investasi yang lebih aman. Selain itu, bayang-bayang resesi di Amerika Serikat semakin memperburuk situasi, mencerminkan betapa rentannya pasar saham Indonesia terhadap dinamika eksternal tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.

Di dalam negeri, kondisi ekonomi semakin mengkhawatirkan. Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan penurunan penerimaan pajak hingga 30% dalam dua bulan pertama tahun ini, sementara defisit mencapai Rp 31,2 triliun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya beban utang negara yang semakin membebani stabilitas fiskal. Ketika ruang fiskal semakin sempit, kemampuan pemerintah dalam menopang pertumbuhan ekonomi juga melemah. Di tengah ketidakpastian ini, nilai tukar rupiah terus tertekan, yang semakin menggerus kepercayaan investor.

Salah satu faktor yang memperburuk situasi adalah maraknya kasus mega korupsi yang merusak kepercayaan pasar. Skandal keuangan yang melibatkan pejabat tinggi membuat investor meragukan tata kelola dan transparansi ekonomi Indonesia. Selain itu, gejolak politik dalam negeri semakin memperparah ketidakpastian. Protes besar-besaran terhadap revisi Undang-Undang TNI menambah kekhawatiran akan stabilitas hukum dan demokrasi. Tak hanya itu, muncul spekulasi bahwa peringkat kredit (credit rating) Indonesia berisiko diturunkan, yang semakin memicu kepanikan di kalangan investor. Ketika kepercayaan semakin menurun, modal asing pun bergerak keluar, memperburuk tekanan terhadap IHSG.

Dunia usaha menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dari situasi ini. Kejatuhan pasar saham membuat perusahaan publik kehilangan sumber pendanaan yang penting. Investor yang menarik modalnya menyebabkan harga saham anjlok dan menekan arus investasi baru. Sektor perbankan ikut terkena imbas dengan meningkatnya risiko kredit, sementara bisnis yang bergantung pada impor menghadapi lonjakan biaya akibat pelemahan rupiah. Jika situasi ini tidak segera dikendalikan, pertumbuhan ekonomi nasional bisa mengalami perlambatan yang signifikan.

Namun, di tengah ketidakpastian ini, ekonomi Indonesia masih memiliki beberapa faktor penopang. Konsumsi domestik tetap menjadi pilar utama pertumbuhan, sementara sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih mampu menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, industri berbasis sumber daya alam tetap memiliki daya saing global. Meski demikian, tanpa langkah konkret untuk mengelola risiko ekonomi, ketahanan ini bisa terkikis dalam jangka panjang.

Dari kejadian ini, ada beberapa pelajaran yang harus diambil. Pertama, Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap faktor eksternal dengan memperkuat fundamental ekonomi domestik. Kedua, kebijakan fiskal harus lebih realistis dan berbasis teknokrasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Ketiga, tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah kepanikan pasar. Keempat, reformasi ekonomi yang lebih progresif perlu segera dilakukan agar Indonesia tidak terus terjebak dalam siklus ketidakstabilan akibat faktor global dan internal.

Dalam jangka pendek, pemerintah harus segera bertindak untuk meredakan kepanikan pasar. Stabilisasi nilai tukar, insentif bagi dunia usaha, serta langkah konkret dalam memperbaiki outlook fiskal menjadi prioritas utama. Tanpa respons yang cepat dan tepat, risiko penurunan ekonomi lebih dalam akan semakin sulit dihindari. Kejatuhan IHSG kali ini bukan sekadar gejolak sesaat, tetapi sinyal kuat bahwa Indonesia harus segera berbenah jika ingin tetap kompetitif dan tangguh menghadapi tantangan global.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *