__temp__ __location__

Oleh: Asarani

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, yang membuat pemerintah menyadari bahwa sistem perekonomian Indonesia saat itu masih sangat lemah.

Berbagai upaya dilakukan guna menstabilkan sistem perekonomian negara, salah satunya dengan membentuk kebijakan persaingan usaha yang diimpikan sejak tahun 1970-an.

Hingga pada tahun 1998, dengan desakan dari International Monetary Fund (IMF) dimulailah pembicaraan terkait pembentukan Undang-undang yang mengatur persaingan antar pelaku usaha dan larangan melakukan praktik monopoli, yaitu penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa oleh satu pelaku usaha.

Inilah yang menjadi cikal-bakal dari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

UU No. 5 Tahun 1999 atau dikenal dengan UU Anti Monopoli melarang adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat untuk menjaga keadilan ekonomi, tetapi terdapat pengecualian bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU tersebut.

Pasal 50 mengecualikan beberapa aktivitas, seperti BUMN untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pada pasal 51 negara memberikan hak monopoli kepada BUMN dalam sektor tertentu yang menyangkut kepentingan umum.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun UU ini menentang adanya praktek monopoli, negara tetap mengakui peran strategis yang dimiliki BUMN dalam layanan publik dengan pemberian hak monopoli.

Selain itu, hal ini dimaksudkan agar sektor-sektor vital negara tidak dikuasai oleh pihak swasta yang lebih berorientasi pada keuntungan daripada kepentingan rakyat.

Namun, apakah hak istimewa berupa pengecualian monopoli BUMN masih relevan untuk dipertahankan pada saat ini? Itulah pertanyaan yang sedang marak beredar, hal ini dikarenakan negara kita sedang dihebohkan dengan terbongkarnya kasus korupsi pada akhir Februari lalu di salah satu jajaran perusahaan milik BUMN yaitu Perusahaan Tambang dan Minyak Indonesia (Pertamina) dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang.

Kasus ini menyebabkan terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja dan integritas dari BUMN.

Banyak pihak yang menyayangkan peristiwa ini, bahwasanya badan negara yang seharusnya melayani dan mendukung kesejahteraan rakyat malah melakukan pembegalan terhadap negara sendiri.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap kinerja BUMN, terutama dalam hak monopoli yang dimilikinya.

Jadi, apakah hak istimewa monopoli BUMN harus dicabut? Jawabannya adalah tidak, karena  meskipun  terdapat  kecacatan  dalam  kinerjanya  oleh  beberapa  oknum, tidak seharusnya kita mengabaikan peran serta fungsi penting dari BUMN itu sendiri.

Seperti hal yang sudah sempat disinggung pada paragraf sebelumnya, bahwasanya BUMN memiliki peran penting dalam sektor pelayanan publik, contohnya listrik, air, bahan bakar, serta transportasi publik. Yang mana sektor-sektor fundamental ini harus tetap berada dibawah kendali negara agar layanan publik tetap terjangkau dan merata.

Apabila sektor-sektor ini sampai dikuasai pihak swasta, maka hal buruk yang merugikan masyarakat dapat terjadi, seperti harga yang melonjak dan akses tidak merata, yang cenderung merugikan masyarakat. Hal ini dikarenakan pihak swasta cenderung berorientasi pada keuntungan dan bukan kesejahteran rakyat, lain halnya dengan BUMN.

Selain itu, BUMN juga memiliki peranan yang sangat besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berasal dari dividen, pajak, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Thomas Djiwandono selaku Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) II, yaitu mencapai Rp383,8 triliun atau 78 persen dari target APBN tahun 2024. Ini menjadi bukti bahwa hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN tidak hanya berdampak pada perekonomian negara, tetapi juga berdampak terhadap pendapatan negara.

Jika hak monopoli BUMN dihapus, maka keuntungan yang masuk ke pendapatan negara akan berkurang, yang meningkatkan ketergantungan pada pajak masyarakat. Hal ini pun dapat membuka resiko pada kenaikan pajak negara terhadap masyarakat.

Tidak hanya itu, Negara tidak memberikan hak monopoli kepada BUMN secara sembarangan, melainkan ada batasan dan kriteria tertentu.

Undang-Undang Anti Monopoli menetapkan kriteria perusahaan dalam BUMN yang diberikan hak monopoli, yaitu kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus ditetapkan dengan UU dan ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan kegiatan usaha itu.

Terdapat juga lembaga-lembaga yang bertugas untuk mengawasi kinerja dari BUMN seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ombudsman Republik Indonesia dan lain-lain.

Lembaga-lembaga tersebutlah yang akan mengawasi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BUMN.

Dengan demikian, hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN tetap harus dipertahankan karena memiliki peranan penting dalam perekonomian serta pendapatan negara.

Pemerintah juga telah menyadari bahwa negara membutuhkan kebijakan yang lebih tegas dan sesuai dengan perkembangan zaman dalam menghadapi tantangan perekonomian.

Hal ini dibuktikan dengan rencana pemerintah bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2023

tentang BUMN. Hal tersebut terungkap dari paparan Rapat Kerja Pemerintah dengan Komisi VI pada tanggal 23 Januari lalu, dan hak atas monopoli BUMN akan menjadi salah satu poin dalam revisi UU tersebut.

Dengan RUU ini, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan efisiensi dari BUMN dan meminimalisir adanya kecurangan dan politik kotor dalam lembaga BUMN kedepannya.

Dalam RUU ini misalnya, pemerintah dapat menambahkan sebuah kebijakan yang mengharuskan pelaporan keuangan secara berkala kepada lembaga pengawas terkait atau tingkatkan transparansi serta harus melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penyelenggaraan usaha BUMN.

Dengan begitu, BUMN dapat menjadi senjata ekonomi negara tanpa digeruguti oknum licik penggeruk uang rakyat.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *