__temp__ __location__

Ramadan selalu menjadi bulan yang penuh dengan semangat religiusitas. Masjid-masjid yang biasanya lengang mendadak dipenuhi jamaah, terutama saat salat tarawih. Namun, ada ironi yang mencolok: di waktu subuh, masjid kembali sunyi. Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terus berulang? Apakah ini mencerminkan ketimpangan religiusitas di masyarakat kita?
Ramadan: Antara Spiritualitas dan Ritual Kolektif
Ramadan tidak hanya membawa dimensi ibadah individu tetapi juga menumbuhkan semangat kebersamaan. Tarawih menjadi contoh konkret dari bagaimana ibadah berubah menjadi ritual sosial. Orang-orang datang berbondong-bondong, bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk merasakan atmosfer kolektif Ramadan. Tarawih menawarkan pengalaman spiritual yang masif—dari suara imam yang merdu hingga kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman.
Sebaliknya, salat subuh tidak memiliki atmosfer yang sama. Tidak ada keramaian, tidak ada ekspektasi sosial, dan sering kali tidak ada perasaan ‘kehilangan’ jika melewatkannya. Ini menunjukkan bahwa bagi banyak orang, motivasi dalam beribadah masih lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal daripada kesadaran internal.
Fenomena Keberagamaan yang Musiman
Bulan Ramadan sering kali menjadi momen di mana orang meningkatkan aktivitas ibadahnya. Namun, bagi sebagian, ini lebih seperti euforia tahunan daripada perubahan fundamental. Ketika Ramadan usai, banyak yang kembali ke kebiasaan lama. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan ibadah lebih didorong oleh faktor budaya dan tekanan sosial ketimbang kesadaran spiritual yang konsisten.
Salat tarawih, yang sejatinya sunnah, mendapat tempat istimewa dalam masyarakat, sementara salat subuh yang hukumnya wajib justru diabaikan. Ini menandakan adanya ketimpangan dalam memahami esensi ibadah: lebih condong pada apa yang tampak di permukaan daripada esensi ketaatan itu sendiri.
Menurut penelitian dari Pew Research Center (2019), praktik keberagamaan sering kali dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Studi ini menunjukkan bahwa di banyak negara Muslim, peningkatan partisipasi dalam ibadah selama Ramadan lebih disebabkan oleh tekanan sosial dibanding kesadaran individu terhadap kewajiban agama.
Daya Tarik Hiburan vs. Kedisiplinan Spiritual
Salah satu alasan mengapa tarawih lebih diminati dibanding salat subuh adalah daya tariknya yang lebih ‘ramah’ bagi banyak orang. Salat tarawih bisa menjadi sarana berkumpul, menikmati suasana malam, bahkan ajang rekreasi rohani. Sebaliknya, salat subuh menuntut kedisiplinan tinggi. Butuh komitmen untuk bangun saat kantuk masih berat dan udara dingin menusuk. Tidak ada suasana ramai, tidak ada kebersamaan yang sama seperti tarawih.
Ini memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat masih lebih nyaman dengan bentuk ibadah yang memiliki aspek sosial dan hiburan dibanding ibadah yang benar-benar menuntut kedisiplinan spiritual. Kesadaran untuk beribadah murni demi Allah tampaknya masih kalah oleh aspek kenyamanan dan faktor eksternal.
Menurut buku Reviving the Islamic Spirit karya Dr. Yasir Qadhi, tantangan terbesar bagi umat Islam modern adalah membangun kedisiplinan spiritual yang tidak bergantung pada suasana musiman. Ia menekankan bahwa ibadah harus menjadi bagian dari kebiasaan harian, bukan hanya rutinitas tahunan.
Refleksi: Membangun Konsistensi Ibadah
Ketimpangan ini seharusnya menjadi bahan refleksi. Jika motivasi beribadah masih bersifat musiman dan tergantung pada atmosfer, maka ada pertanyaan besar yang harus dijawab: apakah ibadah kita benar-benar lahir dari kesadaran spiritual atau hanya mengikuti arus sosial?
Ramadan semestinya menjadi momen perubahan yang lebih dari sekadar ritual tahunan. Semangat tarawih yang tinggi seharusnya sejalan dengan semangat menjalankan ibadah wajib seperti salat subuh. Jika masjid bisa penuh untuk ibadah sunnah, mengapa tidak bisa penuh untuk yang wajib? Inilah tantangan yang harus dijawab, bukan hanya oleh individu tetapi juga oleh para pemuka agama dan komunitas Muslim secara keseluruhan.
Pada akhirnya, keberagamaan sejati bukanlah tentang seberapa sering kita hadir di masjid selama Ramadan, tetapi seberapa konsisten kita dalam menjalankan kewajiban sepanjang tahun. Ramadan bukanlah tujuan akhir, melainkan batu loncatan menuju kehidupan spiritual yang lebih bermakna sepanjang tahun.


Daftar Pustaka
Pew Research Center. (2019). Religion and Public Life: How Muslims Engage in Worship and Social Practices. Retrieved from www.pewresearch.org
Qadhi, Y. (2018). Reviving the Islamic Spirit. Islamic Publications.
 

Tags:
Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *