__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Artikel berjudul "AGO Suggests Death Penalty for Pertamina Graft Suspects", oleh Yerica Lai, 8 Maret 2025, The Jakarta Post, mengulas Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka kemungkinan untuk menuntut hukuman mati bagi para tersangka dalam kasus korupsi terkait impor bahan bakar di perusahaan energi milik negara, Pertamina. Keputusan ini didasarkan pada besarnya kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1 kuadriliun serta fakta bahwa kejahatan ini dilakukan saat pandemi COVID-19, yang dikategorikan sebagai bencana nasional.

Pidana mati telah lama menjadi perdebatan dalam teori hukum dan filsafat keadilan. Cesare Beccaria dalam Dei Delitti e Delle Pene (1764) menolak hukuman mati karena dianggap tidak efektif dalam mencegah kejahatan. Namun, pendapat ini ditantang oleh Immanuel Kant dalam The Metaphysics of Morals (1797), yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat diterapkan sebagai bentuk keadilan retributif terhadap pelaku kejahatan berat. Dalam konteks modern, Ernest van den Haag dalam The Ultimate Punishment (1986) menegaskan bahwa hukuman mati bisa menjadi pencegah kuat bagi kejahatan yang berdampak besar pada masyarakat.

Korupsi Pertamina bukan hanya merugikan negara dalam angka yang fantastis, tetapi juga berdampak destruktif terhadap rakyat. Manipulasi impor bahan bakar menyebabkan harga BBM tidak stabil, membebani masyarakat kecil, serta memperparah kemiskinan akibat kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Selain itu, skema penggelapan ini berkontribusi terhadap ketidakadilan sosial, di mana segelintir elite memperkaya diri sementara jutaan rakyat harus berjuang dengan kondisi ekonomi yang semakin sulit.

Beberapa negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor menunjukkan tingkat korupsi yang lebih rendah. Tiongkok, misalnya, memiliki kebijakan hukuman mati bagi kasus korupsi besar, yang berkontribusi pada peningkatan transparansi dan efisiensi birokrasi (Manion, Corruption by Design, 2004). Singapura, meskipun jarang menjatuhkan pidana mati, memiliki regulasi ketat dan ancaman hukuman berat yang terbukti menjaga indeks persepsi korupsi tetap rendah (Quah, Curbing Corruption in Asian Countries, 2017). Kedua negara ini menunjukkan bahwa penerapan hukuman keras dapat menjadi faktor penting dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Namun, efektivitas hukuman mati dalam memberantas korupsi masih menjadi perdebatan. Transparency International menyebut bahwa pencegahan korupsi yang efektif tidak hanya bergantung pada hukuman berat, tetapi juga pada reformasi sistem hukum, peningkatan transparansi, dan penguatan pengawasan publik. Tanpa perbaikan sistemik, hukuman mati bisa menjadi alat politik yang hanya menyasar segelintir pelaku tanpa menyentuh akar masalah korupsi.

Kasus Pertamina menjadi momentum penting bagi sistem peradilan Indonesia untuk mengevaluasi efektivitas hukum dalam menindak korupsi kelas kakap. Jika hukuman mati diterapkan, sistem peradilan harus memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan, adil, dan bebas dari intervensi politik. Selain itu, perlu ada jaminan bahwa penegakan hukum tidak hanya menyasar individu tertentu, tetapi juga memperbaiki mekanisme pengadaan dan tata kelola energi agar kasus serupa tidak terulang.

Pembelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa hukuman berat bagi koruptor harus diimbangi dengan reformasi hukum yang menyeluruh. Jika Indonesia ingin menjadikan hukuman mati sebagai instrumen pemberantasan korupsi, maka harus ada komitmen kuat untuk memperbaiki sistem hukum, meningkatkan pengawasan publik, serta memastikan bahwa seluruh aparat penegak hukum bekerja secara profesional dan independen.

Kasus ini akan menjadi ujian besar bagi Kejaksaan Agung dan sistem hukum Indonesia. Apakah hukuman mati bagi koruptor Pertamina akan menjadi awal dari era baru pemberantasan korupsi atau justru menjadi kebijakan kontroversial yang tidak menyentuh akar masalah? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan integritas hukum dan keadilan di negeri ini.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *