__temp__ __location__
`

Fenomena viral yang belakangan ini terjadi terkait dengan lagu “Bayar-Bayar” yang diciptakan oleh Band Sukatani telah memicu perbincangan luas di kalangan masyarakat. Lagu ini, dengan liriknya yang kontroversial, tidak hanya menarik perhatian banyak pendengar, tetapi juga menimbulkan perdebatan hangat mengenai batas antara kebebasan berekspresi dan sensitivitas sosial. Apakah lagu ini sekadar bentuk provokasi, atau justru mencerminkan upaya pembungkaman terhadap kebebasan seni yang seharusnya dijamin dalam kerangka kebebasan berpendapat?

Provokasi dalam Lirik

Lagu “Bayar-Bayar” Sukatani mengandung unsur provokatif yang cukup kuat. Dengan lirik yang secara terang-terangan mengkritik suatu pihak, lagu ini menantang status quo yang ada di masyarakat, khususnya terkait dengan permasalahan sosial. Liriknya yang terkesan menyerang secara frontal menyentil kelompok tertentu, sehingga memicu kontroversi di kalangan publik.

Provokasi dalam seni musik bukanlah hal baru. Banyak musisi sebelumnya telah menggunakan lirik dan komposisi mereka sebagai bentuk kritik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan yang berlaku. Dari Bob Dylan hingga grup-grup musik punk yang dikenal dengan sikap anti-establishment, kritik dalam musik telah menjadi bagian dari ekspresi artistik. Namun, dalam konteks lagu ini, muncul pertanyaan: sejauh mana provokasi dalam lirik dapat diterima tanpa menyinggung perasaan kelompok atau individu lain?

Di satu sisi, provokasi dalam lagu bisa menjadi alat untuk membangkitkan kesadaran serta memicu diskusi yang lebih luas. Namun, di sisi lain, jika tidak dikemas dengan bijaksana, provokasi semacam ini berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketegangan sosial.

Pembungkaman Karya Seni?

Sebagian pihak justru melihat polemik yang muncul sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Sebagai karya seni, lagu berfungsi sebagai medium untuk menyuarakan gagasan, perasaan, serta sebagai refleksi terhadap realitas sosial yang ada. Di sinilah pentingnya kebebasan berekspresi menjadi sorotan.

Apakah hanya karena lagu ini menyinggung oknum tertentu sehingga dianggap sensitif dan tidak disukai oleh beberapa pihak, maka ia layak untuk dibungkam atau bahkan dilarang? Mengkritik pemerintah, kebijakan, atau struktur sosial merupakan bagian dari hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi.

Namun, meskipun kebebasan berekspresi dijamin, pelaksanaannya tetap harus disertai tanggung jawab. Dalam hal ini, muncul pertanyaan: apakah ekspresi dalam bentuk lagu ini masih berada dalam ranah kebebasan berekspresi, atau sudah melampaui batas etika sosial? Jika kebebasan berekspresi hanya dijadikan pembenaran untuk menyebarkan ujaran kebencian atau fitnah, tentu hal ini berpotensi menimbulkan dampak negatif. Namun, jika lagu ini dilihat sebagai refleksi kritis terhadap ketidakpuasan sosial, maka seharusnya ia dihargai sebagai bagian dari kebebasan kreatif.

Fenomena serupa juga terjadi baru-baru ini terhadap seorang seniman, Yos Suprapto, yang karyanya menuai kontroversi karena dianggap mengkritik pemerintah secara tajam. Sebanyak 30 lukisan miliknya ditarik kembali dan batal dipamerkan di Galeri Nasional.

Melihat berbagai peristiwa yang terjadi, pertanyaannya adalah: apakah kebebasan berekspresi di negeri ini mulai dibatasi di ruang publik? Apakah pemerintah semakin antikritik? Atau justru masyarakat yang semakin sensitif terhadap kritik?

Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Penulis: Rizki Ramadhan Sitepu
 

Iklan Kesbangpol PBD
Gusti Rian Saputra

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *