__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Kebijakan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat untuk periode kedua membawa angin perubahan besar dalam kebijakan ekonomi global, terutama di bidang perdagangan internasional. Kebijakan tarif yang kini kembali diberlakukan terhadap berbagai negara mitra dagang utama AS menandai sikap proteksionisme ekonomi yang semakin tegas. Dunia usaha pun mulai merespons dengan hati-hati, termasuk di Indonesia. Namun, di balik tantangan itu, terdapat peluang strategis yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat posisi ekonominya di tingkat global.

Presiden Trump telah menerapkan kebijakan tarif tinggi terhadap produk-produk dari Tiongkok, Meksiko, dan beberapa negara Eropa, dengan alasan melindungi industri dalam negeri AS. Meskipun Indonesia tidak secara langsung menjadi target utama tarif tersebut, efek rambatan (spillover effect)-nya berpotensi berdampak pada rantai pasok global, termasuk bagi industri Indonesia yang selama ini menjadi bagian dari sistem produksi regional. Dalam konteks ini, kesiapsiagaan menjadi kunci untuk menjaga daya saing nasional.

Dampak tidak langsung terhadap Indonesia bisa datang melalui beberapa saluran. Penurunan daya beli konsumen Amerika akibat harga barang impor yang melonjak, dapat menurunkan permintaan terhadap produk-produk manufaktur dan komoditas yang melibatkan Indonesia dalam rantai pasok. Selain itu, jika negara mitra utama seperti Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi akibat kebijakan tarif AS, maka permintaan mereka terhadap bahan baku dari Indonesia juga bisa menurun.

Hal ini sejalan dengan kekhawatiran yang diangkat dalam artikel opini The New York Times berjudul “Your Life Will Never Be the Same After These Tariffs”, oleh Justin Wolfers, 4 April 2025. Dalam artikel itu, Wolfers menyatakan bahwa “tarif kali ini mungkin 50 kali lebih menyakitkan dibandingkan yang diberlakukan Trump sebelumnya,” dan menambahkan bahwa “tarif-tarif ini akan membentuk ulang hidup Anda dengan cara yang jauh lebih mendasar.” Meski konteksnya adalah konsumen dan pelaku usaha AS, dampaknya secara sistemik dapat menjalar ke negara-negara seperti Indonesia.

Meski demikian, Indonesia tidak berada dalam posisi pasif. Justru dalam situasi seperti ini, peluang untuk melakukan reposisi ekonomi terbuka lebar. Salah satu langkah penting adalah memperluas diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan terhadap pasar AS dan Tiongkok harus diimbangi dengan penetrasi ke kawasan Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah. Pemerintah perlu memperkuat perjanjian perdagangan bebas yang sudah dijalin dan mempercepat ratifikasi kesepakatan strategis seperti Indonesia–European Union CEPA.

Indonesia juga dapat memanfaatkan situasi ini untuk mempercepat penguatan industri dalam negeri. Program hilirisasi sumber daya alam, insentif untuk industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi, serta dukungan terhadap UMKM ekspor menjadi bagian penting dari strategi jangka panjang. Ketahanan industri nasional bukan hanya soal proteksi, tetapi tentang membangun fondasi produksi yang efisien, inovatif, dan tangguh menghadapi gejolak global.

Selain itu, sektor digital dan ekonomi hijau juga membuka peluang besar di tengah disrupsi global. Ketika negara-negara besar sibuk mengatasi dampak tarif dan negosiasi dagang, Indonesia dapat menawarkan stabilitas dan peluang investasi baru, khususnya bagi industri ramah lingkungan, energi terbarukan, dan ekonomi digital yang sedang berkembang pesat di kawasan Asia Tenggara.

Dengan pendekatan yang adaptif, reformasi struktural yang berkelanjutan, dan diplomasi ekonomi yang cerdas, Indonesia berpeluang keluar sebagai pemain yang lebih kuat dari tekanan global akibat kebijakan tarif Presiden Trump. Ketika negara lain terpaku pada konflik dagang, Indonesia bisa melaju dengan strategi kolaboratif yang membangun. Optimisme ini harus dijaga dan diiringi dengan kebijakan yang konsisten dan berorientasi jangka panjang.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *