Oleh: Syaefunnur Maszah
Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, mengklaim bahwa revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang direncanakan akan semakin membatasi peran militer dalam urusan sipil (The Jakarta Post, 17/3). Klaim ini datang di tengah kritik dari kelompok masyarakat sipil yang menilai revisi ini justru dapat membuka celah bagi keterlibatan militer yang lebih luas dalam politik dan pemerintahan. Namun, persoalan ini tidak hanya menyangkut teknis peraturan, tetapi juga bagaimana masyarakat membangun dan menerima realitas sosial terkait peran militer dalam kehidupan bernegara.
Peter L. Berger dalam The Social Construction of Reality menjelaskan bahwa realitas sosial dibentuk melalui konstruksi dan legitimasi yang diterima oleh masyarakat. Jika publik menerima dominasi militer sebagai sesuatu yang sah, maka militerisme akan semakin menguat. Meskipun Berger menekankan pentingnya demokrasi dan kebebasan dalam membentuk realitas sosial, teorinya tetap memungkinkan pemakluman terhadap militerisme jika masyarakat menormalisasikan kekuasaan berbasis kekuatan dibandingkan supremasi sipil. Dalam konteks ini, revisi UU TNI tidak hanya soal regulasi, tetapi juga soal bagaimana masyarakat melihat dan memberi legitimasi pada peran militer.
Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan militer yang kuat tidak selalu menjadi negara otoriter. Amerika Serikat, misalnya, memiliki angkatan bersenjata yang sangat kuat, tetapi tetap dalam kendali sipil yang ketat. Sistem demokrasi di negara tersebut memungkinkan militer berperan dalam pertahanan tanpa mengintervensi politik. Di sisi lain, Turki dalam era pra-Erdogan menunjukkan bagaimana militer bisa menjadi kekuatan politik yang dominan ketika masyarakat menerima narasi bahwa stabilitas lebih penting daripada demokrasi.
Militer yang kuat juga dapat membawa manfaat bagi stabilitas nasional. Israel, misalnya, memiliki angkatan bersenjata yang tidak hanya tangguh dalam aspek pertahanan, tetapi juga berperan dalam membangun teknologi dan inovasi. Keberadaan militer yang kuat di negara tersebut menjadi faktor penentu dalam menjaga kedaulatan di tengah ancaman eksternal. Contoh lainnya adalah Korea Selatan, di mana kekuatan militer membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi.
Namun, supremasi sipil tetap penting untuk memastikan keseimbangan kekuasaan. Jerman pasca-Perang Dunia II berhasil membangun sistem di mana militer kuat, tetapi tetap tunduk pada kendali sipil dan aturan hukum yang ketat. Model ini memastikan bahwa militer tetap profesional tanpa menjadi ancaman bagi demokrasi. Inggris juga menjadi contoh bagaimana tradisi supremasi sipil mampu menciptakan keseimbangan antara kekuatan militer dan demokrasi yang stabil.
Bagi Indonesia, revisi UU TNI harus dipertimbangkan dalam kerangka keseimbangan antara kebutuhan pertahanan dan supremasi sipil. Jika tidak ada pengawasan ketat, maka normalisasi peran militer dalam pemerintahan dapat mengarah pada melemahnya demokrasi. Namun, jika militer terlalu dibatasi tanpa memperkuat alternatif keamanan sipil yang memadai, maka stabilitas negara bisa terganggu.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan bukan hanya soal legalitas, tetapi juga konstruksi sosial yang diterima atau ditolak oleh publik. Jika demokrasi tetap dijunjung tinggi, maka revisi UU TNI harus memastikan bahwa peran militer tetap dalam koridor pertahanan tanpa membuka ruang bagi ekspansi ke ranah politik dan pemerintahan.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hubungan sipil-militer, dari era Dwifungsi ABRI hingga reformasi yang menuntut netralitas militer dalam politik. Revisi UU TNI seharusnya bukan langkah mundur, melainkan bagian dari upaya memperkuat supremasi sipil dengan tetap mempertahankan militer yang profesional dan kuat. Keberhasilan negara dalam menjaga keseimbangan ini akan menentukan arah demokrasi Indonesia di masa depan.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami